In memoriam Profesor Iwan Dwiprahasto (3) : Merenungi Visi-Misi Kemanusiaan UGM, Sudah Seharusnya Menjadi Kampus Inklusi

Pagi, 24 Maret 2020, adalah pagi yang menyedihkan bagi saya. Prof. Iwan Dwiprahasto, seseorang yang sangat saya hormati berpulang ke rahmatullah.  Siapapun pasti sepakat, beliau salah seorang guru besar panutan UGM.

Sontak, ingatan saya melayang mengingat momen-momen perjumpaan saya dengan Prof. Iwan. Perjumpaan saya yang pertama dimulai medio tahun 2017. Dan saya merangkum beberapa hal yang bisa dipetik dalam perjalanan beliau.

Memperjuangkan Difabel

Saat itu saya dipertemukan dengan Prof. Iwan ketika memantau penyelenggaraan Ujiam Masuk UGM bagi calon mahasiswa difabel. Waktu itu Prof. Iwan masih menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Meskipun perjumpaan itu sangat singkat, tapi saya masih ingat betul apa yang dikatakan Prof. Iwan kepada saya.

 “Terus perjuangkan teman-teman difabel ya”, ucap Prof. Iwan.

Bagi saya, kalimat singkat itu berarti banyak. Setidaknya memberi kesan, bahwa sebagai wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Iwan mempunyai sensitivitas mengenai isu difabel. Hal yang akhirnya benar-benar saya saksikan sendiri selama berinteraksi dengan beliau di momen-momen kemudian.

Menjadi Pembina UKM Peduli Difabel UGM

Singkat cerita, di awal tahun 2018 saya dipercaya sebagai wakil ketua UKM Peduli Difabel UGM. Saat itu, berdasarkan usulan beberapa senior dan rekan-rekan, muncul gagasan untuk menjadikan Prof. Iwan Dwiprahasto sebagai pembina UKM Peduli Difabel UGM.

So, saya dan teman-teman mencoba untuk menghubungi beliau untuk menanyakan kesediaan beliau sebagai pembina UKM Peduli Difabel UGM. Prof. Iwan, yang ketika itu baru saja berhenti menjabat sebagai wakil rektor, dengan segala kerendahan hatinya bersedia menjadi pembina UKM Peduli Difabel UGM.

Selalu Menyediakan Waktu untuk Difabel

Berikutnya, saya sebagai wakil ketua UKM Peduli Difabel UGM tentu menjadi lebih intens berinteraksi dengan Prof. Iwan. Beliau ditengah-tengah kesibukannya, selalu menerima kami di ruang kerjanya di FKKMK UGM. Bahkan, nggak jarang mengajak kami bertemu di warung makan untuk mendiskusikan hal-hal yang dikerjakan UKM Peduli Difabel UGM. Dalam perjumpaan-perjumpaan itu, beliau seringkali menyelipkan nasehat-nasehat bagi kami.

Visi dan Misi UGM: Kampus Kemanusiaan

Salah satu nasehat yang saya ingat adalah ketika kami berkonsultasi dengan beliau terkait dengan rencana UKM Peduli Difabel untuk beraudiensi dengan Prof. Panut Mulyono selaku rektor UGM yang baru saja terpilih. Dengan penuh semangat saya bercerita kepada Prof. Iwan mengenai isi proposal audiensi kami yang dipenuhi dasar hukum yang menjadi alasan mengapa universitas besar seperti UGM harus menjadi kampus inklusif. Seusai Prof. Iwan mendengar pemaparan kami, beliau seperti biasa dengan keramahannya, memberikan masukan kepada proposal yang telah kami buat dengan kata-kata yang sederhana namun sangat mengena.

“Sebelum kita mencantumkan banyak regulasi yang mengharuskan UGM sebagai kampus inklusif, alangkah lebih baiknya membaca visi misi UGM terlebih dahulu” terangnya.

Prof. Iwan melanjutkan, jika kita melihat visi misi UGM, seharusnya paham bahwa UGM memang sudah seharusnya memanusiakan difabel.

Merenungi Lebih Dalam Visi dan Misi Kemanusiaan UGM

Setelah pertemuan tersebut, saya langsung membaca dan merenungi visi-misi UGM, almamater yang sangat saya cintai dan banggakan. Hal yang baru saya lakukan untuk pertama kalimya. Dalam visi-misi UGM yang saya baca, baik secara tersirat maupun tersurat, dikatakan bahwa UGM adalah  universitas yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Dari situ saya benar-benar memahami nasehat dari Prof. Iwan.

Saat berkesempatan bersua lagi dengan beliau, Saya mengatakan kepada Prof Iwan, bahwa setelah membaca visi misi UGM, saya paham sudah seharusnya kampus yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai fondasi. Ia memang sudah seharusnya menerima difabel sebagai bagian di dalamnya. “Jika saya sebagai pengambil kebijakan, saya akan sangat tersentuh dengan proposal ini” ungkap Prof. Iwan.

Momen itu benar-benar membuat saya paham, sebagai seseorang yang belajar di UGM, mengapa kita harus memanusiakan difabel. Bukan hanya karena telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, karena UGM, almamater tempat kita belajar telah meletakkan nai-nilai kemanusiaan sebagai fondasi.

Selamat jalan Prof. Iwan Dwiprahasto, semoga diberi tempat terbaik disisi Allah

Doa terbaik dari orang yang pernah banyak belajar dari keteladanan-mu…

Tag:


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *