“Keren ya, bisa lulus cumlaude sekalipun difabel”
“Luar biasa sekali, sekalipun difabel bisa dapat beasiswa”
“Keren, difabel lulusan UGM”
Ungkapan di atas bagi saya yang seringkali berkutat dengan isu difabel sudah sering saya temukan. Nggak Cuma itu, kadang-kadang juga dimuat menjadi judul berita yang benar-benar boombastis. Baik media cetak, apalagi media digital yang mengandalkan klikbait.
Tantangan kaum difabel itu sesungguhnya bukan hanya di sektor pendidikan. Salah satunya adalah pasca lulus dari dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan, bagi mereka yang lulus perguruan tinggi sekalipun. Pingin bukti? Kisah pendaftar CPNS difabel netra yang nggak diloloskan yang akhir-akhir ini viral bisa menjadi contoh.
Lalu, apa masalahnya sih? Dan, sejauh mana yang perlu kita lakukan?
1. Sudah Banyak Kampus Welcome ke Difabel

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kebutuhan masyarakat yang inklusif, sektor pendidikan pun mulai berbenah. Nggak Cuma pendidikan dasar dan menengah. Sekarang sudah banyak perguruan tinggi alias kampus yang menerima difabel. Misalnya UGM, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Barawijaya, UNY, UPI, UI, dan lainnya. Bahkan, sudah tercantum dalam Permenrisetdikti No 46 Tahun 2017 Tentang pendidikan Khusus bagi mahasiswa difabel di perguruan tinggi. Salah satunya adalah mengamanatkan adanya pusat layanan difabel di perguruan tinggi.
Sebuah yang langkah maju. Nggak heran, sekalipun belum ditemukan data yang pasti tentang jumlah mahasiswa yang mengenyam pendidikan tinggi, dalam pengamatan penulsi selama beberapa tahun terakhir terjadi lonjakan mahasiswa difabel di beberapa kampus besar.
2. Sudah Tersedia Beasiswa bagi Difabel

Sejalan dengan adanya kesadaran inklusifitas di perguruan tinggi, saat ini sudah cukup banyak beasiswa bagi mahasiswa difabel. Untuk jenjang S1 ada beasiswa khusus mahasiswa difabel. Di luar itu, beasiswa yang nggak dikhususkan untuk difabel juga bisa diraih kok. Buktinya, dulu saya juga mendapatkan beasiswa bidik misi saat jenjang S1. Untuk jenjang pascasarjana, sudah ada beasiswa afirmasi bagi difabel di LPDP. Kabarnya, untuk beasiswa jenjang pascasarjana di Indonesia dipusatkan di LPDP. Nggak mengherankan, LPDP merupakan salah satu beasiswa prestisius.
Baca Juga: Inilah Daftar Kampus yang Menerima Difabel di Indonesia
3. Tantangan Difabel Pasca Lulus

Ketika akses pendidikan di kampus sudah mulai terjamin, apakah semuanya sudah selesai? Nggak, sama sekali nggak selesai. Justru tantangan lebih berat adalah pasca studi di kampus. Selain harus bersaing dengan pencari kerja, lulusan difabel pun mengalami tantangan tersendiri. Yakni, adanya diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja.
Bukankah kami, kaum difabel, mengenyam pendidikan setinggi-tingginya bukan untuk menghamba gelar?
Kami, kaum difabel, mengenyam pendidikan memiliki tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup. Hidup sebagai individu. Sebagai pribadi. Juga sebagai bagian dari masyarakat yang membangun sistem ketahanan nasional.
4. Dunia Kerja yang Masih Menerapkan Syarat Fisik

Dengan kondisi fisiknya yang berbeda, seringkali menjadi bumerang. Pasar tenaga kerja seringkali menerapkan syarat-syarat fisik sebagai bagian dalam rekrutmen. Alhasil, difabel pun seringkali tersingkir sejak dini. Ia terhapus sebelum “perang” yang sesungguhnya dimulai.
Baca Juga: Kisah Muhammad Baihaqi; Difabel dan Sepucuk Catatan Kelam Dunia CPNS
5. Pemerintah pun Nggak Memperlihatkan Contoh yang Baik

Ternyata, nggak hanya sektor swasta. Institusi pemerintah pun seringkali nggak terbuka kepada kaum difabel. Kasus rekrutmen CPNS yang diskriminatif pun seringkali mengemuka. Kasus lain, dalam suatu kesempatan bersama teman-teman forum pemuda beraudiensi dengan Pak Menteri Perindustrian, saya bertanya “apakah di lembaga bapak sudah ada data pekerja difabel? Kalau iya angkanya kira-kira berapa persen?”
Jawaban Pak Menteri waktu itu sekadar diplomatis, kurang lebih “Maaf, untuk saat ini belum ada. Ke depan akan kami usahakan”
Saya pun menambahkan, ada baiknya pemerintah memulai dari diri sendiri. Memperlihatkan contoh yang baik. Agar nantinya sektor swasta bisa mengikuti. Dengan demikian, pemerintah nggak Cuma jarkoni. Ngajar nanging ora nglakoni.. hikssss…
6. Alasan Klasik: Kendala Teknis?

Salah satu yang sering mengemuka jika terjadi kasus penolakan difabel di dunia kerja adalah terkait kendala teknis. Fasilitas yang belum siap. Tupoksi yang belum jelas. Dan lain sebagainya. Padahal, jika melihat kenyataan yang ada, bisa belajar banyak dari sektor pendidikan. Misalnya nih, saya sejak SD sampai jenjang S2 di lembaga pendidikan umum. Bahkan menjadi satu-satunya siswa difabel di dalam kelas. Meskipun sekolahnya nggak pakai embel-embel inklusi, nggak ada guru pendamping khusus, tapi berkat lingkungan yang mendukung (dari siswa dan guru-guru), toh saya bisa selalu dapat rangking.
Bahkan, saat di SMA sempat jadi ketua OSIS. Aslinya ini bukan bermaksud menyombongkan diri lho. Tapi, sesekali saya perlu menyombongkan diri ke mereka yang nggak berperikemanusiaan kepada difabel. Yang merasa dirinya sempurna sampai menolak keberadaan kaum difabel, terutama dalam bidang pekerjaan.
Asli.. Saya nulis ini sambil gregetan lho,,,,
Baca Juga: Menjadi Difabel adalah Berbeda, Anugerah Tuhan yang Diciptakan Sempurna
7. Diperlukan Sinergi yang Sistemik?

Dengan melihat fakta-fakta tersebut, sepertinya memerlukan sinergi yang sistemik. Paling kunci adalah sistem yang ada dalam dunia pendidikan dengan dunia pekerjaan. Sesekali mungkin dunia pekerjaan perlu menengok pembelajaran para mahasiswa difabel di kampus-kampus. Nggak apa-apalah, sekalian jalan-jalan kan bisa. Studi banding kek. Kunjungan kerja kek. Yang pasti kan bakal dibiayain negara. Nggak bakal tombok lah..
Dengan melihat realitas pembelajaran yang ada di sektor pendidikan, paling tidak sektor pekerjaan ini bisa melakukan duplikasi sistem yang dipakai. Tentunya dengan dilakukan penyesuaian. Misalnya nih, ada mahasiswa peternakan yang difabel rungu di UGM. Dia ini kalau berbicara belum bisa jelas, tapi cukup cepat memahami dalam hal membaca gerak bibir saat berkomunikasi. istilah ngilmiahnya lips reading. Lalu gimana ia bisa menyampaikan pendapatnya? Ya lewat tulisan lah. Di sini, kita bisa lihat lho, hambatan utamanya hanyalah soal komunikasi. So, kalau lingkungan sudah siap mendukung terkait hambatan komunikasi, nggak ada salahnya untuk menerima dia kan? Apalagi dia juga lulus cumlaude. Dari UGM. Bukan kampus kaleng-kaleng…
Lu lu pada yang pakai kacamata pasti akan terhambat kalau kacamatanya nggak ada kan? Jujur saja lah,,
Leave a Reply