Orkresta kisah yang terbangun dalam mitos dan legenda di manapun berada, anak dengan difabel selalu dimunculkan dalam satu hal yang sama, terlahir dianggap kutukan Dewa maupun Setan. Ruh dan Jiwa memang ada. Namanya seolah tiada.
Ratusan, bahkan ribuan jalan hidup dan kisah akhirlah yang membedakannya. Mayoritas pun masa kanak-kanaknya dibuang oleh orang tuanya. Diolok-olok saudaranya. Misalnya, Sukasrana yang dibuang bapaknya, Resi Suwandageni, pada akhirnya ia diselamatkan oleh Dewa. Ia tumbuh menjadi ksatria sakti mandraguna. Namun, nggak sedikit yang nasibnya terbuang sia-sia.
Ketika peradaban manusia sudah dianggap modern, apakah kisah-kisah tersebut masih bertahan, dengan malihrupa menjadi wujud lain, yang juga modern tentunya?
Rendahnya Anak Difabel yang masih Mengenyam Sekolah

Data dari Badan Pusat Statistik berdasarkan Statistik Pendidikan tahun 2018, menunjukan angka yang cukup miris. Yakni, difabel usia lima tahun ke atas yang masih sekolah hanya 5,48%. Padahal, data dari Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukan jumlah difabel mencapai 39 juta jiwa. Difabel yang belum atau nggak pernah bersekolah sama sekali mencapai 23,91%. Sementara itu, difabel yang nggak bersekolah lagi sebesar 70,62%.
Sama seperti dalam mitos dari berbagai belahan dunia manapun. Masa kanak-kanak difabel di Indonesia sejatinya masih suram. Bahkan sangat suram. Bukankah demikian?
Gap Terlalu Jauh antara Anak Difabel dan Non-Difabel

Angka tersebut menunjukan statistik yang sangat jomplang dibandingkan dengan anak non-difabel. Pada non-difabel penduduk usia lima tahun ke atas yang masih sekolah mencapai 25,83%. Statistik penduduk usia lima tahun ke atas yang bukan difabel dan belum sekolah pun hanya 6,17%. Tentu nggak apa-apanya dibandingkan dengan difabel yang mencapai 23,91%. Kita nggak usah membayangkan tentang anak-anak difabel yang seringkali ditolak oleh pihak sekolah, juga masyarakat.
Sekalipun diterima, ia kerapkali menjadi sasaran untuk bullying. Sebaliknya, anak bukan difabel bebas melenggang. Kenapa? Karena ia dianggap “normal”. Sedangkan anak dengan difabel dianggap “tidak normal”. Mungkin, di sinilah kita mulai menduga, siapakah sejatinya yang normal dan tidak normal?
Semakin Tinggi Jenjang Pendidikan, Semakin Rendah Angka Partisipasi Difabel

Apakah kita menganut kepercayaan semakin tinggi pohon yang kita tanam, semakin besar kemungkinan untuk roboh dan disapu badai?
Inilah kenyataan yang dialami anak-anak dengan difabel di Indonesia. Anak-anak yang sejatinya memiliki hak yang sama; sebagai manusia. Semakin tinggi kelompok umur, semakin rendah angka partisipasi sekolah (APS). APS tertinggi terjadi pada kelompok umur 7-12 tahun, yaitu sebesar 91,12% untuk difabel dan 99,29% untuk buka difabel. APS terendah terjadi pada kelompok umur 19-24 tahun, yaitu 12,96% untuk difabel dan 24,53% untuk bukan difabel.
Artinya, angka partisipasi pendidikan bagi anak dengan difabel sebatas sampai SD. Sisanya, ia hilang tak berbekas. Ia menjelma menjadi kelas prooletar. Kelas kedua. Kelompok subordinasi. Kelompok marginal. Dan berbagai macam sebutannya.
Namun, Tetaplah Penghargaan Besar untuk Orang Tua dengan Anak Difabel

Meskipun demikian, sepanjang melangkah perjalanan ini, orang tua dengan anak difabel telah melalui perjuangan panjang. Bayang-bayang repetisi kisah Sukasrana memang masih kerap teradi. Akan tetapi, nggak sedikit orang tua dengan anak difabel yang berhati lembut dan tulus.
Mereka berani melakukan apa saja untuk anak-anak mereka yang dianggap istimewa, bukan cacat. Meskipun kehadiran negara belum begitu terasa. Mereka rela membayar terapi dan obat-obatan yang tak terhitung jumlahnya. Mereka rela mengantar, menggendong, dan mendampingi anak-anak mereka ditengah tidak aksesibelnya fasilitas publik. Meskipun kondisi ekonomi jauh dari kata layak dan sempurna. Namun, disitulah hakikat dari manusia, lekat dengan ketidaksempurnaan.
Menghindari Stigma, Memulai Langkah, Merangkai Kisah

PR besar bangsa Indonesia adalah stigma. Apalagi dengan kekuatan tangan netizen 62 Yang Terhormat. Mereka dengan gampang dan mudah melontarkannya. Stigma negatif, bullying, atau sejenisnya, masih kerapkali ditemui, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Untuk itulah, refleksi Hari Anak Nasional nggak perlu kita rayakan, selagi anak-anak difabel belum benar-benar bebas. Belum benar-benar merdeka.
Langkah-langkah perlu diambil bersama. Stigma melahirkan peminggiran difabel. Peminggiran menyebabkan akses ke ranah pendidikan, ekonomi, sosial, hingga budaya menjadi terbatas. Agar kelak kita dapat menyajikan mitos dan legenda yang memiliki kisah berbeda. Kisah indah tentang anak-anak difabel. Yang kelak akan diwariskan ke anak-anak cucu kita. semoga.
Leave a Reply