Akhir-akhir ini, pemerintah semakin getol memberikan kuota bagi difabel dalam berbagai aspek. Salah satunya dalam bidang pekerjaan. Terbaru, redaksi difapedia menemukan rekruitmen tenaga kerja pada sebuah BUMN bagi difabel.
Meskipun demikian, seperti yang sudah-sudah, kebijakan tersebut nggak sepenuhnya inklusif. Bahkan terkesan ironi. Parahnya, bersembunyi dalam balutan topeng keadilan. Apa pasal?
1. Hanya mengakomodir difabel daksa

Sayangnya, kebijakan kuota difabel yang ada hanya ditujukan untuk difabel daksa. Realitasnya, difabel bukan hanya daksa. Ada beragam difabel. Bukan sekali ini saja kasusnya. Redaksi sering bertanya, jawabannya klasik, “Lha, beruntung saja sudah mau membuka kepada difabel, daripada nggak sama sekali”. Duh, bulshitt sekali ini.
Kalau masih pada masa-masa awal bisa dimaklumi. Akan tetapi, kebijakan ini berlangsung bertahun-tahun. Dan polanya tetap sama. Padahal undang-undang tentang difabel sebagai legal standing kebijakan ini sudah ada sejak tahun 2016. Kemana saja mereka ini?
2. Faktanya, mahasiswa difabel di perguruan tinggi lebih beragam

Nggak bisa dipungkiri, jika akhir-akhir ini difabel mulai dapat diterima dengan tangan terbuka di berbagai level pendidikan. Meski belum semuanya, beberapa perguruan tinggi sudah mulai membuka diri. Dari pengamatan tim redaksi, mahasiswa di perguruan tinggi justru lebih beragam. Sebagai gambaran, di UGM yang konon sebagai salah satu kampus terbaik di Indonesia, justru mahasiswa difabel daksa nggak seberapa. Beberapa dari mereka adalah difabel netra, difabel rungu, hingga difabel mental (autisme). Toh, mereka justru cukup menonjol di antara kepungan yang non-difabel sekalipun.
3. Pemerintah gagap dalam memahami layanan dan fasilitas difabel?

Adanya kebijakan yang terkesan setengah-tengah ini pun menimbulkan pertanyaan, apakah cermin pemerintah gagap dalam memahami layanan dan fasilitas bagi difabel? Sebagai contoh, Fakultas Hukum UGM untuk memfasilitasi mahasiswa difabel netra cukup menyediakan komputer yang sudah terinstall aplikasi screen reader. Yang mana difabel netra dapat menyerap informasi dari sesuatu yang berbasis visual setelah tertranskipsi ke dalam bentuk audio dengan hanya modal headset doang. Pun, untuk difabel rungu sudah ada aplikasi transkipsi audio ke dalam bentuk teks? Apakah untuk memfasilitasi ini mahal? Nggak mahal lah. Wong untuk membuat program hibah wirausaha pemuda saja tiap orang dapat jatah minimal 10 juta. Belum lagi program-program lain yang triliunan. Lha ini nggak seberapa lho, Pak.
Yang mahal adalah kemauan pemerintah untuk belajar secara kaffah. Bukan setengah-tengah.
4. Perlunya mainstreaming difabel

Adanya kebijakan yang terkesan setengah-tengah, menandakan pemerintah perlu mendapatkan mainstreaming difabel secara kontinyu dan sistemik? Kebijakan lahir bukan hanya untuk mengejar kuota, tetapi mengacu pada hal-hal yang bersifat substantif dan bercermin pada equality.
5. Pendekatan pemerintah masih terkesan kuno dan bersifat teknikal
Dengan kata lain, kebijakan pemerintah masih didominasi pada pendekatan yang terkesan kuno. Cara pandang tersebut dapat dilihat dari pendekatannya yang terlalu teknikal. Misalnya, jika berbicara difabel netra, akan berkesimpulan mereka nggak bisa “membaca”. Saat berbicara tentang difabel rungu, akan berkesimpulan mereka nggak bisa “mendengar” dan berkomunikasi. Alhasil, mereka ini pun secara otomatis akan langsung tersingkir dari kriteria yang ditetapkan.
Faktanya, selain memanfaatkan “kelebihan” lain, misalnya lips reading bagi difabel rungu, teknologi sudah berkembang sedemikian maju. Difabel netra sudah bisa “membaca” dengan aplikasi screen reader. Difabel rungu sudah bisa mendengarkan dengan banyak sekali aplikasi transkipsi audio ke dalam bentuk teks, baik yang online ataupun offline. Meskipun demikian kenapa otak kita masih nggak maju, malah cenderung mundur dan semakin memalukan?!
Leave a Reply