Pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 telah usai. Sekalilpun mendapati pro-kontra terkait dengan pandemi Covid-19, dapat dikatakan lancar tanpa kendala. Hal ini bisa dilihat dari nggak terlalu riuhnya gesekan maupun yang berujung pada kekerasan..
Berdasarkan pantauan difapedia, catatan selama mewarnai proses demokrasi juga cukup banyak. Yang paling menonjol adalah iau difabel dalam kontestasi Pilkada masih terpaku pada posisinya yang jelata, yakni fasilitas dam layanan difabel bagi pemilih difabel. Difapedia akan mengulik di luar sisi fasilitas dan layanan bagi pemilih. Seenggaknya ada lima catatan yang berhasil dihimpun difapedia.
1. Belum ada calon kepala daerah difabel

Sejauh ini belum ditemukan kontestan Pilkada 2020 dari kalangan difabel. Sempat mencuat beberapa bakal calon, pada kenyataannya harus tersingkir. Ironisnya, yang bersangkutan tersingkir dikarenakan faktor difabelnya yang dianggap nggak layak secara medis. Bukankah esensi difabel adalah individu dengan kemampuan berbeda?
2. Diskriminasi pada bakal calon difabel masih terjadi

Sekalipun sudah memiliki aturan hukum yang jelas, realitas di lapangan berkata lain. Diskriminasi terhadap difabel nggak hanya terjadi pada masyarakat awam, justru menimpa salah satu tokoh. Nggak main-main, salah satu bakal calon petahana di Kabupaten Demak terpaksa harus gugur dikarenakan nggak lolos kesehatan penglihatan. Faktanya, beliau selama menjabat biasa-biasa saja. Sanggup melakukan aktifitas sehari-hari.
3. Masih lekatnya perspektif medis dalam memandang difabel

Apa yang terjadi terhadap Joko Santoso, salah satu kandidat kontestan Pilkada di Demak yang gugur merupakan sebuah fakta yang nggak bisa dibantah. Sebuah kontradiksi di tengah gencarnya isu inklusifitas yang digaungkan pemerintah. Yang mana perspektif sosial lebih dikedepankan dibandingkan perspektif medis. Sebuah kemunduran yang cukup signifikan.
4. Membumikan perspektif sosial

Mencuatnya penghakiman difabel dengan dalih kesehatan adalah sebuah ironi. Kenyataan bahwa sekalipun terdapat undang-undang yang jelas mengatur difabel, misalnya UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, di kalangan birokrasi justru seringkali berperan sebagai pelanggar utama. Apakah hal ini memang masih belum masifnya mainstreaming difabel di kalangan birokrat?
5. Mendambakan kepala daerah peduli difabel

Terlepas dari pro-kontra yang ada, Pilkada sudah selesai. Tugas kita adalah mengawal para calon terpilih agar bisa maksimal melaksanakan program-programnya. Termasuk di dalamnya program terkait difabel. Semua dalam rangka mewujudkan Indonesia yang Inklusif. Lebih jauh lagi adalah pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Salam Inklusif!
Leave a Reply