6 Catatan Arah Kebijakan Hukum bagi Perempuan Difabel Korban Kekerasan Seksual

Memasuki tahun baru selalu menjadi momentum untuk merefleksikan berbagai hal untuk resolusi ke depan. Termasuk di dalamnya kebijakan hukum terhadap perempuan difabel korban kekerasan seksual yang semakin meningkat. Arah kebijakan hukum tentu nggak dapat dipisahkan dari tujuan pembangunan nasional. Dalam mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, yang merata materiil dan spiritual, harus dilakukan upaya secara berkelanjutan pada berbagai bidang, antara lain kesehatan, hukum, prasarana dan fasilitas untuk menunjang keberlangsungan kehidupan bangsa.

Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hukum nggak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan semata tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya lho. Salah satu esensi dari konsep negara hukum yaitu adanya pemenuhan dan penegakan HAM. Pada dasarnya landasan HAM tersebut, artinya setiap orang dipandang sama, nggak boleh adanya golongan yang boleh diperbudak, didiskriminasi maupun pembedaan hak. Pasal 27 UUD NRI 1945 secara jelas menyatakan, bahwa semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan. Dalam hal ini, nggak ada perlakuan diskriminatif dalam memperlakukan warga negara baik laki-laki maupun perempuan, terlebih khusus bagi difabel.

1. Komitmen Negara pada Perempuan

Perempuan membutuhkan perlindungan ( via www.kompas.com )

Ditarik jauh ke belakang, Indonesia berkomitmen meratifikasi Konvensi Perempuan dengan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) dengan persyaratan (reservation) terhadap Pasal 1 ayat (1). Makna dari ratifikasi suatu konvensi internasional (treaty) yang menciptakan kewajiban dan akuntabilitas Negara yang meratifikasinya. Ratifikasi oleh pemerintah dengan persetujuan DPR menjadikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan Konvensi sebagai hukum formal dan bagian dari hukum nasional. Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menentukan bahwa “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional”.

Berkaitan dengan perempuan difabel, realitas sebagai salah satu kelompok rentan dalam kehidupan sosial masyarakat kita, saat ini cukup menjadi sorotan. Awal konstruksi adanya penyebab ketidakadilan gender, yang bertitik pangkal pada perbedaan laki-laki dan perempuan dapat terlihat dari akses dan kontrol seperti Sumber Daya Alam (SDA), pengetahuan, sosial, ideologi, dan pasar. Selanjutnya terjadi pembedaan peran seperti reproduktif, sosial masyarakat, politik, pembedaan posisi domestik, publik serta pembedaan hak. Hal tersebut menimbulkan kekerasan dan ketidakadilan.

2. Komitmen Negara pada Difabel

Perempuan difabel ( via www.ausaid.gov.au )

Aturan hukum terkait mengenai perempuan difabel sebenarnya sudah di ratifikasi oleh bangsa Indonesia berdasarkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (selanjutnya disingkat CRPD) yaitu Konvensi tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas (difabel-red). Indonesia telah meratifikasi dengan UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan CRPD, sebagai instrumen HAM internasional dan nasional dalam upaya penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak difabel di Indonesia (Development tool and Human Rights Instrument). Tujuan adanya konvensi ini untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang difabel, serta penghormatan terhadap martabat penyandang difabel sebagai bagian yang nggak terpisahkan (inherent dignity). Konvensi ini menegaskan bahwa difabel mempunyai hak-hak asasi dan martabat yang harus dapat dinikmati secara penuh dan tanpa diskriminasi yang didasarkan pada kondisinya yang difabel. Begitu pula kemunculan UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang mengatur lebih tegas dan luas lho.

3. Membaca kasus kekerasan seksual pada perempuan difabel

Membaca kasus ( via www.cnnindonesia.com )

Menelisik perlindungan hukum bagi perempuan difabel dalam dua tahun terakhir (2019-2020) menjadi catatan krusial yang harus ada pembenahan. Data Komnas Perempuan mencatat pada 2019 telah terjadi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel sebesar 69 persen dan meningkat menjadi 79 persen di 2020. Sebanyak 47 persen kekerasan seksual ini dialami oleh perempuan dengan difabel mental intelektual, dan perempuan dengan difabel sensorik tuli dan/atau wicara sebanyak 19 persen. Dari data tersebut yang menimpa perempuan difabel, 80 persen pelaku adalah orang terdekat korban, seperti ayah kandung, saudara dan tetangga kemudian 73 persen kekerasan itu terjadi di ruang privat.

Dengan kondisi di atas masih banyak korban perempuan difabel nggak melaporkannya ke proses hukum atau berlanjut ke proses hukum tetapi nggak sampai selesai atau berhenti di tengah jalan. Ia sebagai korban terkadang nggak mengetahui bahwa ia korban, bahkan banyak yang nggak dilaporkan karena mereka nggak tahu prosesnya. Masih banyak persoalan mengenai penanganan korban yang masih belum berprespektif terhadap perempuan difabel sehingga dianggap perempuan difabel nggak cakap hukum dengan membutuhkan pendampingan orang lain. Selain itu, korban dari kalangan difabel mempunyai bentuk pendekatan khusus.

4. Pandemi Covid-19 meningkatkan kerentanan perempuan difabel

Kerentanan perempuan difabel ( via www.idntimes.com )

Dengan ditambahnya situasi pandemi Covid-19 saat ini yang terjadi dibelahan dunia terkhusus di Indonesia, kondisi perempuan difabel dalam situasi khusus mempunyai kerentanan lebih dibandingkan perempuan dan penyandang difabel pada umumnya. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, perempuan difabel sudah menghadapi banyak tantangan dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari bahkan dalam partisipasinya di ruang publik. Kerentanan yang terjadi akibat dari situasi ganda yaitu sebagai perempuan dan sebagai difabel. Stigma terhadap perempuan sudah menjadi penghalang bagi perempuan, apalagi ditambah dengan ia sebagai difabel, yang tentu akan menghadapi diskriminasi ganda, subordinasi, dan rentan menjadi korban kekerasan yang berulang (reviktimisasi). Belum adanya panduan khusus penanganan perempuan difabel di tempat karantina/isolasi bahkan belum adanya persiapan relawan yang memahami bahasa isyarat yang mampu menjelaskan situasi yang sedang terjadi dan sebagainya. Tentunya hal ini menjadi tantangan yang harus disiakpi dengan sigap agar tidak ada pengabaian terhadap hak-hak bagi perempuan difabel.

5. Apakah keberadaan regulasi negara sudah cukup?

Membutuhkan bukti dan realisasi ( via www.ayoyogya.com )

Saat ini, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dianggap sebagai jawaban dari kondisi difabel Indonesia. Diakui atau nggak, difabel masih hidup dalam kondisi rentan, terbelakang dan/atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak. Selain itu, untuk mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi difabel menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri dan tanpa diskrimiansi diperlukan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Secara khusus pula dalam UU ini telah mengatur hak-hak perempuan difabel dalam Pasal 5 ayat (2) yaitu a) hak atas kesejahteraan reproduksi, b) menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi, c) mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis dan d) untuk mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Dalam UU ini pula diatur mengenai tugas pemerintah daerah dalam memberikan ruang perlindungan khusus untuk perempuan difabel yang mengalami hal-hal diatas.

Sejak terbentuknya UU Nomor 8 Tahun 2016 hingga saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas; PP No. 70 Tahun 2019 Tentang Perencanaan, Penyelenggaraan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; PP No. 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas, dan PP No 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Akan tetapi diluar aturan yang ada di atas, saat ini fenomena kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan penyandang difabel semakin tinggi. Perlindungan serta jaminan hukum harus diberikan oleh negara, terutama terhadap perempuan penyandang difabel. Diskriminasi terhadap difabel dapat berujung pada marginalisasi dari berbagai aspek kehidupan.

6. Evaluasi dan upaya perbaikan

Perempuan difabel menanti perbaikan ( via www.ifes.org )

Perlu menjadi evaluasi bersama dalam memperbaruhi kebijakan hukum bagi perempuan difabel sebagai korban kekerasan seksual. Terkait kebijakan hukum pidana menurut Marc Ancel merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan UU, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut adalah salah satu komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal law. Tahap yang bisa dilakukan adalah dengan adanya kebijakan formulasi (legislatif), kebijakan aplikasi (yudikatif) dan kebijakan pelaksana hukum pidana (eksekutif).

Jika dilihat dari proses kebijakan hukum pidana pengaturan terkait perempuan difabel korban kekerasan seksual dalam tahap formulasi secara eksplisit sudah tercantum dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 pada Pasal 5, akan tetapi peraturan mengenai bentuk kekerasan seksual belum diatur secara lebih detail. Oleh karena itu, diharapkan pula dibentuknya UU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk melindungi perempuan difabel. Hal ini karena kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan difabel sering nggak terselesaikan oleh perangkat hukum. Meskipun saat ini PP untuk mengakomodasi difabel secara layak di peradilan sudah berlaku tetapi lebih pada sarana prasarana. Terkait hukum acara belum ada sehingga banyak kasus yang nggak terselesaikan dengan perangkat hukum yang ada. Dalam RUU PKS telah mengatur kekerasan seksual lebih mendetail, bahkan ada pemberatan pidana penjara untuk pelaku kekerasan seksual dengan korban difabel atau anak. Dalam konteks ini RUU PKS perlu segera disahkan melihat sangat kompleksnya bentuk kekerasan seksual yang terjadi di lapangan yang membutuhkan mekanisme pemulihan korban secara lebih khusus.

Terkait kebijakan aplikasi dari UU yang telah ada masih jauh dari rasa keadilan bagi korban perempuan difabel. Masih banyaknya proses hukum yang belum berjalan dengan lancar ataupun jarang tidak masuknya ke proses hukum. Hal ini karena profesionalitas dan kesiapan penegakan hukum yang masih belum terlatih, membutuhkan pendampingan khusus bagi korban yang membuat prosenya pun terhambat. Berdasarkan data dari Sapda ada sekitar 30 kasus hukum dengan korban difabel yang ditangani Sapda, hanya 12 kasus yang masuk ke pengadilan dan pada putusan hanya 5-6 kasus. Hal ini karena persoalan bukti dan tekanan. Pelaku kekerasan seksual pada perempuan difabel kebanyakan anggota keluarga atau orang yang dikenal, seperti guru dan tetangga atau pemberi kerja (Gatra.com). Meskipun saat ini baru saja sudah disahkannya PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Tentang Akomodasi yang Layak Untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan yang diharapkan dapat berjalan dengan sesuai untuk mengurangi praktik-praktik yang merendahkan di dalam peradilan perlu di kawal secara lebih serius untuk membuktikan apakah benar-benar komitmen yang ada dapat terlaksana.

Selanjutnya pada tahap eksekusi, aksesibilitas dan sarana prasarana di lembaga pemasyarakatan sudah ada beberapa yang dibuat ramah terhadap pelaku perempuan difabel akan tetapi perlu pula diperhatikan hak-hak khusus yang dievaluasi secara kontinyu. Terkait data di dalam Ditjenpas saat ini pun belum mencantumkan data terkait jumlah napi difabel. Pengelompokan lebih spesifik mengenai kriteria yang ada pada napi perempuan difabel yang dalam waktu dekat perlu diperbaiki. Nantinya akan mempermudah pula para peneliti untuk melakukan penelitian agar dapat berjalannya kontrol publik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan hukum yang ada bagi perempuan difabel korban kekerasan seksual masih perlu dilakukan pembenahan. Agar hak-hak korban dapat terpenuhi. Law enforcement yang saat ini bisa terlihat dari lemahnya substansi, lemah kapasitas kelembagaan, profesionalitas dan integritas penegak hukum, kelemahan dakwaan atau gugatan, serta lemahnya kontrol publik.



Dida Rachma Wandayati, Mahasiswi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tag:


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *