Oleh: Nestor Rico Tambunan
Dalam sebulan ini saya dua kali merasa sedih sekaligus marah melihat video viral yang simpang-siur di grup WA dan facebook yang berhubungan dengan orang Batak. Dua-duanya berkaitan dengan difabel. Tulisan ini nggak bermaksud menyinggung SARA. Lebih merupakan bentuk kepedulian penulis terhadap kondisi sosial masyarakat. Terlebih, penulis sebagai warga Batak .
1. Penyandang Disleksia justru dijadikan bahan bullying oleh guru

Video pertama adalah anak sekolah penyandang disleksia yang kesulitan menghitung. Si guru, tidak kelihatan, dengan suara geli bolak-balik teriak memaksa si anak. Perekaman dan penyebaran video ini membuat si anak jadi tertawan dan ejekan di mana-mana.
2. Minim pemahaman makna inklusi, termasuk dalam sistem pendidikan kita

Saya marah karena si guru tidak punya jiwa mendidik. Dia tampak tidak mengerti anak itu menyandang disleksia, orang yang mengalami kesulitan dengan huruf dan angka. Ia tidak memahami tugas dalam pendidikan inklusi. Masyarakat pun sama, tidak punya pemahaman dan tidak punya empati.
3. Miskin empati

Viral kedua adalah video sepasang penganten. Orang-orang sekeliling teriak-teriak memaksa penganten pria mencium kening penganten perempuan. Si penganten, mengenakan jas bagus, tampak tidak mengerti, berdiri kaku. Saya pengen nangis. Dari gesturnya terlihat ia penyandang difabel intelektual. Ketika seorang ibu memaksa, si pria menundukkan badan dengan kaku, pengantin perempuan tampak geli dan menepis. Ia cantik (tapi menurut informasi juga penyandang difabel wicara).
Seperti guru yang merekam murid penyandang disleksia, video penganten ini tentunya dari keluarga dekat, karena acara ini kelihatannya pertemuan penganten sebelum berangkat ke pemberkatan. Tapi, apalah perlunya menyebarkan ini kepada publik, sehingga kedua pengantin ini jadi tertawaan dan olok-olok orang banyak?
4. Apakah memang tradisi Batak?

Cium-mencium tidak ada dalam tradisi dan adat-istiadat orang Batak, terlebih di depan orang banyak. Itu budaya-budaya kitsch yang lahir dari bisnis fotografi dan video. Penting benar sih memaksakan adegan cium itu? Tidakkah mereka sama sekali tidak punya empati dan kemakluman pada kedua penganten?
5. Ruang pemahaman, wawasan, persepsi terhadap dunia difabel masih sangat rendah

Kesedihan dalam kedua video viral ini, ruang pemahaman, wawasan, persepsi kita terhadap dunia difabel masih sangat rendah. Kesedihan kedua, kita benar-benar telah begitu larut dalam dunia digital, dunia selfie, viral, dan sejenisnya. Pada akhirnya, kita kehilangan empati dan akal sehat. Otak kita seperti pindah ke ujung jari….
Leave a Reply