WHO: 34 Juta Anak-anak Membutuhkan Rehabilitasi Gangguan Pendengaran

WHO menyatakan bahwa sekitar 430 juta orang di dunia mengalami gangguan pendengaran yang membutuhkan rehabilitasi untuk mengatasi gangguan pendengaran mereka, yang mana 34 juta diantaranya adalah anak-anak.

Pada tahun 2050, diperkirakan bahwa lebih dari 700 juta orang, atau satu dari setiap sepuluh orang, akan mengalami gangguan pendengaran.

Gangguan pendengaran dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang nggak bisa mendengar sebagaimana orang normal mendengar suara atau bunyi pada ambang batas tertentu. Ambang batasnya yaitu minimal pada 20 dB pada kedua telinganya. Ambang batas ini dapat diartikan dengan suara manusia berbisik atau seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel perbandingan level decibel ( via www.yale.edu )

Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, berat dan sangat berat berdasarkan pada batas decibel yang dapat didengarnya, baik mengenai salah satu atau kedua telinga. Hal tersebut dapat memicu kesulitan dalam komunikasi dua arah yang menyebabkan seseorang membutuhkan suara keras untuk mendengar. Tuli atau difabel rungu merupakan kelompok orang dengan gangguan pendengaran sangat berat dari sisi medis yang menyebabkan panyandangnya hampir  nggak bisa mendengar sama sekali. Mereka lebih sering menggunakan bahasa isyarat atau lips reading untuk berkomunikasi.

1. Penyebab Gangguan Pendengaran

Mengenali Penyebab Gangguan Dengar ( via www.mommiesdaily.com )

Gangguan pendengaran tersebut dapat terjadi sejak lahir yang kemungkinan disebabkan oleh risiko seperti adanya riwayat keluarga dengan difabel rungu, kelainan bawaan bentuk telinga dan kelainan tulang tengkorak-muka, Infeksi janin ketika dalam kandungan (infeksi toksoplasmosis, rubella,sitomegalovirus, herpes). Selain itu, juga bisa disebabkan sindrom tertentu, seperti sindrom Down, berat lahir < 1500 gram, gangguan pernafasan saat bayi lahir, perawatan di NICU, serta penggunaan obat2 tertentu yang bersifat toksik terhadap saraf pendengaran. Pada kenyataannya, sekitar 50% bayi dengan gangguan pendengaran ternyata nggak mempunyai faktor risiko tersebut diatas sehingga Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sangat merekomendasikan untuk melakukan skrining pendengaran pada semua bayi baru lahir. Alat yang direkomendasikan untuk skrining pendengaran bayi adalah optoacoustic emissions (oae) yang dilakukan sejak usia 0-28 hariatau automated auditory brainstem response (AABR) yang dilakukan pada usia 1-3 bulan dan dapat diulang sesuai indikasi. Selain itu, gangguan pendengaran juga dapat terjadi pada proses tumbuh kembang hingga dewasa yaitu karena adanya infeksi telinga kronis, paparan terhadap suara keras, serta aging atau proses penuaan.

2. WHO : Tahun 2019 sekitar 1.5 milyar orang mengalami gangguan pendengaran

Tantangan Bersama ( via www.alodokter.com )

WHO telah menyatakan pernyataan tersebut sebagai ancaman serius yang dapat ditimbulkan oleh paparan kebisingan pada press release tanggal 27 Februari 2015 di Geneva.  Dinyatakan bahwa sekitar 50% remaja dan dewasa berusia 12-35 tahun telah terekspos dengan level suara yang nggak aman melalui personal audio devices (PAD) setiap harinya seperti mendengarkan ecib dan audio pada volume yang sangat tinggi dan durasi waktu yang lama. Selain itu, sekitar 40% pada kelompok usia tersebut juga berpotensi mendapatkan paparan suara berbahaya melalui paparan suara di klub, diskotik dan bar. Perilaku berisiko tersebut dapat merusak kapasitas pendengaran secara permanen. Data dari Analysis of the National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) di Amerika Serikat menemukan peningkatan angka kejadian gangguan pendengaran pada remaja berusia 12-19 pada tahun 1994 dan 2006 yaitu dari 3.5% naik hingga 5.3%.

3. Gangguan pendengaran yang diinduksi oleh bising bersifat ireversibel

Mengurangi risiko ( via www.merdeka.com )

Paparan suara keras pada suatu waktu tertentu dapat menyebabkan sel-sel sensori di telinga lelah sehingga menimbulkan gejala gangguan pendengaran temporer atau tinnitus (sensasi berdengung di telinga). Kondisi ini dapat pulih atau kembali seperti semua seiring dengan pemulihan sel sensori telinga. Akan tetapi, saat paparan terlalu keras yang dilakukan berulang-ulang dalam periode waktu tertentu, dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang ireversibel karena sel sensori telinga tidak memiliki kesempatan untuk pulih. Jenis suara yang pertama dirasakan berdampak pada kondisi gangguan pendengaran ini adalah suara dengan rentang tinggi frekwensi seperti pitched tinggi. Kemudian, paparan yang terus menerus lama kelamaan akan dirasakan sulit mendengar pada pemahaman ucapan dalam komunikasi sehari-hari dan memiliki dampak ecibel pada kualitas hidup individu tersebut. Batas level suara yang tidak aman ini antara lain berpa paparan pada lebih dari 85 dB selama 8 jam atau 100 dB selama 15 menit saja sudah dapat menginduksi kerusakan sel-sel sensori pendengaran di telinga.

Pada anak-anak, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan dapat menyebabkan berkurangnya penguasaan suatu ecibe, gangguan belajar, kecemasan dan berakita pada perilaku mencari perhatian. Paparan kebisingan di ruang kelas dapat menghambat proses belajar mengajat di berbagai bidang seperti kemampuan membaca, pemahaman, ingatan jangka pendek dan jangka panjang, serta dapat mempengaruhi motivasi. Melalui suatu studi didapatkan bahwa anak-anak yang terpapar pada lingkungan belajar yang bising memiliki skor belajar yang lebih rendah pada tes standar. Paparan kebisingan pada anak-anak muda juga berpengaruh pada gangguan pendengaran seiring usia seperti mendengarkan ecib keras selama masa remaja dapat menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi yang cukup signifikan di kemudian hari. Mendengarkan perangkat dengan earphone juga bisa menjadi tidak aman dalam hal lain jika digunakan ecibe berjalan atau bersepeda yang mengakibatkan berkurangnya persepsi pendengaran sehingga meningkatkan kemungkinan terlibat dalam kecelakaan.

4. Rekomendasi WHO

Menjaga kesehatan pendengaran ( via www.haibunda.com )

Tingkat atau level pendengaran yang aman sangat bergantung pada intensitas (kenyaringan), durasi (lamanya waktu) dan frekuensi (seberapa sering) dari paparan kebisingan. Ketiga faktor tersebut saling terkait dan berkontribusi pada level energi dari suara yang diterima oleh telinga seseorang.  Jumlah seluruhnya. Seseorang dapat mentolelir paparan energy atau ‘dosis’ suara pada volume yang rendah dalam jangka waktu yang lama sama seperti paparan energi dari suara pada volume yang tinggi dalam jangka waktu yang sebentar. ‘Dosis’ suara maksimal yang masih ditolelir atau diperbolehkan untuk kesehatan telinga adalah 85 dB selama maksimal 8 jam setiap hari. Pada kindisi tertentu dapat meningkat hingga 100 dB seperti bunyi saat kereta lewat di hadapan kita selama maksimal 15 menit saja setiap harinya.  desibel dianggap sebagai tingkat paparan aman tertinggi. Output dari perangkat audio pribadi seperti earphone dapat berkisar dari 75 dB hingga 136 dB. Sedangkan pada klub malam, diskotik, dan bar tingkat kebisingan suara rata-rata dapat berkisar dari 104 hingga 112 dB.

WHO telah menyarankan untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan pendengaran dengan melibatkan setiap individu baik sebagai orang tua, guru, manajer, produsen serta pemerintah. Rekomendasi pencegahan tersebut antara lain,

  • Menjaga volume dalam batas aman di bawah 85 dB dengan maksimal selama 8 jam
  • Menggunakan earplug saat bepergian ke tempat ramai seperti klub, bar, menonton konser, atau menonton pertandingan olahraga. Earplug yang dipakai dengan baik dapat mengurangi paparan bising sebesar 5-45 dB bergantung pada tipe yang dipakai.
  • Membatasi waktu saat bepergian ke tempat yang bising dan membatasi waktu untuk tidak menggukanan perangkat audio personal terlalu sering.
  • Menggunakan earphone/headphone yang pas dan terdapat noise-cancelling jika memungkinkan. Earphone/headphone yang baik untuk digunakan adalah yang memiliki suara yang terdengar jelas pada level volume suara yang rendah.
  • Mengatur level suara pada perangkat audio personal dengan maksimal volume 60% pada tempat yang tenang.
  • Melakukan monitor level kebisingan dengan aplikasi pada smartphone seperti Soundmeter, Decibel X, Noisee, SPLnFFT Moise Meter, Too Noise Pro
Aplikasi untuk mengukur gangguan dengar ( via dok. pribadi )
  • Melakukan cek atau skiring pendengaran secara rutin terutama dilakukan pada kelompok berisiko seperti remaja dan usia dewasa muda. Salah satunya bisa melakukan cek pendengaran di aplikasi yang telah dibuat oleh WHO seperti di bawah ini.
  • Orang tua dan guru yang juga saling bekerja sama untuk menjaga kesehatan pendengaran anak-anak dan remaja Indonesia

Sudah saatnya untuk menjaga dan memperhatikan kesehatan pendengaran kita sejak sedini mungkin sebagai investasi fungsi pendengaran yang baik di masa depan dengan senantiasa menularkan kesadaran baik dan melakukan tindakan pencegahan seperti di atas. Mari kita bersama sama membuat “mendengarkan aman” untuk anak-anak dan masyarakat Indonesia. Karena sekali saja kehilangan pendengaran, anda tidak akan mendapatkannya kembali!

Referensi

  1. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/deafness-and-hearing-loss
  2. https://ehs.yale.edu/sites/default/files/files/decibel-level-chart.pdf
  3. Watkin PM, Baldwin M, Laoide S. Parental suspicion and identification of hearing impairment. Arch Dis Child. 1990;65:846-50.
  4. Sokol J, Hyde M. Hearing screening. Pediatr Rev. 2000:23:155-62.
  5. Kenna MA. Neonatal hearing screening. Pediatr Clin North Am. 2003;50:301-13.
  6. Cunningham M, Cox EO. Hearing assessment in infant and children: recommendations beyond neonatal screening. Pediatrics. 2003;111:436-40.
  7. American Academy of paediatrics. Task force on newborn and infant hearing. Newborn and infant hearing loss: detection and intervention. Pediatrics. 1999;103:527-30.
  8. Rohsiswatmo R, Rahmawati. Hearing screening in newborn: can we prevent the impact? Supporting the early identification of deaf and hard of hearing (DHH) infants. Neonatal Division, Child Health Department Cipto Mangunkusumo Hospital Universitas Indonesia. Dipresentasikan dalam bentuk ppt di Konika 17, 8-11 Agustus 2017, Yogyakarta.

dr. Fitria Mahrunnisa. Sp.A., M.Sc, Dosen dan dokter spesialis anak sekaligus salah satu tim konsultasi Difapedia

Tag:


2 responses to “WHO: 34 Juta Anak-anak Membutuhkan Rehabilitasi Gangguan Pendengaran”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *