Setelah bergelut di isu difabel bertahun-tahum, saya dapat memberikan kesimpulan bahwa isu difabel di level nasional maupun daerah hampir sama; hidup segan mati tak mau. Hal ini bisa dilihat dari setelah hampir 4 bulanan saya memutuskan balik ke kampung halaman.
8Dalam waktu berdekatan, saya diminta mempelajari dua dokumen sekaligus. Yang pertama adalah Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Purbalingga untuk tahun 2022. Yang kedua, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021-2026.
1. Isu difabel bukan sebagai sekala prioritas
Setelah melihat secara seksama, dapat saya katakan masih jauh dari kata “sempurna”. Bahkan, terdapat kesan isu difabel/disabilitas sebatas pelengkap.
Misalnya dlm RKPD, dr 600an halaman, hanya ada 12 kata “disabilitas” di dalamnya. Itu pun sebatas capaian dan evaluasi yg berupa kolom/tabel. Yang mana tergabung dlm kalimat “rehabilitasi sosial di luar panti utk disabilitas, lansia, pengemis, anak terlantar, gelandangan…dst”
Dalam RPJMD lebih sedikit lagi, yakni hanya ada dua kata “disabilitas”. Dengan kalimat dan pola yg sama dg RKPD.
2. Advokasi berbasis data
Saya kira isu difabel/disabilitas akan dijelaskan secara jelas dalam bentuk uraian agar saya bisa membaca secara menyeluruh. Utk bisa menggali, apakah benar targetnya sudah tercapai 100% seperti yg tertulis di dokumen? Jika iya, berapa persen yg merupakan difabel? Dan bla bla bla…. Padahal dalan setiap kali melakukan advokasi isu difabel, seringkali diminta menyajikan data yang lengkap dan valid
Memang, jumlah difabel “tidak seberapa” dibandingkan yang non-difabel. Meskipun demikian, jika melihat jumlahnya secara matematis, kemudian dikorelasikan dengan angka kemiskinan di Purbalingga yang masih di atas angka Provinsi Jateng maupun Nasional, hal tersebut bukanlah deretan bilangan yg sepele..
3. Difabel dapat menciptakan kemiskinan yang sistemik
Difabel jika tidak ditangani secara serius akan menciptakan sesuatu yang paradoks. Dimanapun, tidak hanya di Purbalingga yaa, difabel akan menciptakan problem yang sistemik dan terstruktur. Ia bisa berefek pada kemiskinan jika tidak ada intervensi dini. Sebagai contoh, seorang difabel akan membutuhkan biaya lebih utk kebutuhan terapi rutin, alat bantu, obat2an, ongkos mobilitas yang lebih, dan masih banyak lagi. Dengan hambatan2 yg dimiliki, diperparah dengan aksesibilitas yang belum layak, tidak sedikit menghambat kemandirian difabel. Parahnya, diskriminasi dan stigma masih terus saja terjadi, bahkan di institusi pendidikan sekalipun..
4. Difabel dipandang sebagai “sumber masalah sosial”
Yang paling penting, dan ini menjadi PR dari tingkat nasional sampai level daerah, yakni stigma yang menempatkan difabel sebagai sumber masalah sosial. Hal ini yg sejak zaman saya masih jadi mahasiswa unyu (S1) sering saya gugat. Nggak mengherankan sekali jika hampir di semua daerah difabel ini disejajarkan dengan gelandangan, anak terlantar, pengemis dan sejenisnya..
Mereka ada dikarenakan menjadi “korban” dari masalah sosial itu sendiri. Bukan sebagi sumber dr masalah sosial.. Kerangka berfikir yg sampai saat ini masih susah saya jabarkan. Entah sampai kapan..
.
Leave a Reply