Perempuan Difabel di Daerah Bencana: Beban Ganda dan Suara yang Tak Terdengar

Sebagai kelompok yang masih berada dalam dominasi patriarkhi, perempuan merupakan kelompok yang berada dalam garis depan memiliki kerentanan tinggi ketika terjadi bencana. Kerentanan ini akan menjadi sebuah kerentanan ganda apabila yang bersangkutan termasuk dalam kelompok perempuan difabel. Sebuah PR besar bagi Indonesia yang selama ini termasuk negara yang rawan bencana. Mulai dari gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dan lain-lain.

1. Belajar dari gempa bumi Pulau Lombok

Gempa Bumi di Lombok tahun 2019 ( via www.kompas.com )

Awal tahun 2019 yang lalu, saya mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara. Desa ini berada sekitar 21 kilometer dari ibu kota kabupaten dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk menjangkau desa ini apabila bepergian dengan menggunakan sepeda motor dari Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Ketika gempa bumi sebesar 7 SR mengguncang Pulau Lombok pada Juli 2018 lalu, Desa Gumantar menjadi salah satu daerah yang paling parah terdampak gempa. Saya dan tim menghabiskan waktu hampir dua bulan tinggal di lokasi bencana. Kami hidup membaur bersama masyarakat dan mengerjakan berbagai program pembangunan untuk memulihkan kondisi sosial dan perekonomian mereka. Selama tinggal menetap, kami melihat dan ikut merasakan betapa hancurnya infrastruktur dasar telah memengaruhi kehidupan mereka. Salah satu infrastruktur paling vital yang memengaruhi kehidupan masyarakat adalah akses sanitasi, terutama saluran pembuangan kotoran dan infrastruktur air bersih.

2. Mereka yang Rentan

Perempuan difabel dalam kerentanan ganda ( via www.euractiv.com )

Sebelum gempa bumi menghantam, masyarakat pada dasarnya telah memiliki akses sanitasi dan air bersih yang memadai. Hampir di setiap rumah telah tersedia sarana pembuangan kotoran (jamban) yang layak, umumnya berbentuk septic tank yang telah memenuhi kriteria jamban sehat sebagaimana yang disyaratkan oleh Departemen Kesehatan RI (2004). Sementara dalam hal akses air bersih, penduduk Desa Gumantar mengandalkan sumber mata air Batubara yang berada di kaki Gunung Rinjani atau berjarak sekitar 10 km dari desa. Selama bertahun-tahun, sumber mata air tersebut telah mampu menghidupi kurang lebih 6.366 jiwa penduduk.

 Ketika gempa bumi menghantam Pulau Lombok tahun 2018 lalu, infrastruktur air bersih dan sanitasi pun rata dengan tanah. Gempa bumi yang diikuti tanah longsor menyebabkan pipa saluran air rusak, jaringan transmisi tidak tertanam, dan terjadi kebocoran pipa dimana-mana. Akibatnya, potensi debit air menjadi sangat kecil. Kualitas airnya juga sangat keruh. Selain infrastruktur air bersih, jamban milik warga juga banyak yang hancur tertimpa bangunan. Untuk urusan buang hajat, mereka lebih banyak memanfaatkan ruang-ruang terbuka seperti sungai kering, ladang, hingga halaman belakang sekolah.

Ketiadaan infrastruktur dasar sangat memengaruhi produktivitas masyarakat. Untuk urusan air minum misalnya, sebagian besar warga harus membeli galon air dari ibu kota kabupaten seharga Rp35.000 setiap tiga hari sekali. Untuk persoalan mandi, mereka kebanyakan melakukannya setiap empat hari sekali. Akses dan kualitas air yang buruk, ditambah sarana pembuangan yang tidak memadai membuat penduduk rawan terkena penyakit. Meskipun tidak dapat menunjukkan angka secara pasti, saya dapat mengatakan bahwa anak-anak, khususnya yang berusia di bawah lima tahun, adalah pihak yang paling merasakan dampaknya. Banyak di antara mereka yang terserang diare. Mereka juga mengalami penyakit kulit seperti gatal-gatal di sekujur tubuh, bahkan sampai membuat kulitnya terkelupas (terluka).

3. Beban ganda perempuan difabel

Beban ganda perempuan difabel ( via www.thenewsminute.com )

Meskipun seluruh masyarakat korban gempa terkena dampak, saya melihat ada kelompok masyarakat tertentu yang harus memikul beban ganda. Mereka adalah kelompok difabel, terutama perempuan difabel. Selama saya tinggal di sana, ada dua perempuan difabel yang saya jumpai, yaitu Eniwati (difabel netra; 15 tahun) dan Mala (difabel daksa; 18 tahun)—keduanya bukan nama sebenarnya.

Setiap hari, Eniwati berjalan dengan mengandalkan tongkat. Ketika hendak buang kotoran, dia lebih sering meminta bantuan sang ibu untuk menuntunnya menuju sarana pembuangan. Sarana pembuangan itu berada di belakang rumah dan berbatasan langsung dengan kebun. Meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, jalan yang harus dilewati Eniwati tidaklah mudah. Ada banyak gundukan tanah dan sisa-sisa reruntuhan bangunan bekas gempa. Kontur jalan yang harus dilewati juga relatif menurun, sehingga tidak memungkinkan baginya berjalan sendirian. Hal serupa juga dihadapi Mala, remaja perempuan yang mengalami kelumpuhan kaki (paralisis) sejak bayi. Untuk mendukung mobilitasnya, Mala mengandalkan kursi roda dan tongkat ketiak. Sama seperti Eniwati, untuk mengakses sarana pembuangan kotoran, Mala juga harus melewati medan yang sulit. Jika Eniwati masih mungkin berjalan dengan cara dituntun, Mala harus digendong oleh ayahnya menuju ke sarana pembuangan.

Selain itu, bentuk jamban yang disediakan juga tidak inklusif. Eniwati dan Mala memakai jamban yang digunakan oleh mereka yang bukan difabel. Bentuknya adalah jamban jongkok, bukan tempat duduk kloset dengan ketinggian 45-50 cm, sebagaimana yang disarankan oleh Kementerian PUPR (2017). Selain ruang geraknya yang sempit, jamban tersebut juga tidak dilengkapi pegangan rambat (handrail), guiding block (tegel penuntun bagi tunanetra), serta air dan sabun yang cukup. Hal itu tentu saja memengaruhi kenyamanan Mala dan Eniwati.

Meskipun begitu, saya melihat hampir tidak ada keterwakilan perempuan, terutama perempuan difabel, dalam musyawarah besar tingkat desa yang membahas rencana pembangunan infrastruktur sanitasi dan air bersih. Hanya ada dua perempuan yang berpartisipasi, itu pun tenggalam dan didominasi suara laki-laki. Persoalan infrastruktur air bersih dan sanitasi memang memengaruhi kehidupan seluruh kelompok masyarakat. Namun, kita tetap perlu mendahulukan suara kelompok-kelompok yang paling berisiko tinggi—dalam hal ini adalah perempuan dan difabel. Suara dan partisipasi mereka perlu diakomodasi sejak tahap perencanaan, proses pembangunan, hingga pemeliharaan. Tujuannya tentu saja untuk membuat program pembangunan menjadi inklusif dan secara tepat mampu menyasar kebutuhan kelompok-kelompok rentan.

4. Menantang Negara

Menuntut kehadiran negara ( via www.mediaindonesia.com )

Membangun infrastruktur dengan desain yang ‘one size fit all’ barangkali memang efisien. Namun, apalah arti efisiensi jika ternyata tidak mampu memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara untuk mengembangkan potensi terbaiknya? Dalam hal ini, kita tidak boleh menafikan bahwa warga negara memiliki kapabilitas yang berbeda-beda dalam menikmati kue pembangunan. Oleh sebab itu, negara perlu bertanggung jawab dengan menyediakan sarana/infrastruktur dasar yang sesuai dengan kapabilitas mereka yang beragam.

Misalnya, dua anak perempuan yang saya jumpai, Eniwati dan Mala, adalah seorang difabel yang mengalami kesulitan mengakses sarana sanitasi. Mereka tidak semestinya ‘dipaksa’ mengakses sarana yang tidak kompatibel dengan kapasitas tubuhnya. Negara perlu hadir menyediakan sarana dengan model yang fit dengan kapasitas mereka. Hal semacam itu memang rumit, tetapi juga menguji komitmen dan kapasitas negara dalam menyediakan sarana  ‘sanitasi untuk semua’ yang inklusif dan mampu mengakomodasi kebutuhan seluruh warga negara (no one left behind).

Saya berpikir bahwa ada banyak sekali kelompok difabel yang masih kesulitan mengakses infrastruktur dasar seperti sanitasi dan air bersih. Hal itu bahkan terjadi di kota-kota besar seperti Yogyakarta, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Lustiyati dan Rahmuniyati  (2019). Lalu, bagaimana dengan difabel yang tinggal di ribuan kilometer jauhnya dari pusat negara? Tentu saja mereka lebih struggle lagi—terlebih jika mereka adalah perempuan yang hidup di daerah paska-bencana. Dengan demikian, perempuan difabel di daerah paska-bencana yang tinggal jauh dari jangkauan negara mengalami beban berlipat ganda. Suara dan pengalaman mereka sudah semestinya kita pertimbangkan dalam berbagai perencanaan program pembangunan.

Abdullah Faqih, sedang bersekolah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

*Tulisan ini merupakan bagian dari esai terpilih dalam lomba esai “Difabel, Milenial dan Media Digital” yang diselenggarakan oleh Difapedia dengan dukungan pendanaan dari Alumni Grant Scheme (AGS) Round 1 tahun 2020, serta didukung oleh Lokalate dan Owabong Water Park

Tag:


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *