Oleh: Dina Vebiola Saraswati Kuntardi
Media sosial layaknya sebagai ruang publik yang luas dan tanpa batas. Karenanya, setiap orang dengan leluasa dapat mengunggah dan mengakses apapun di media sosial. Pada Januari 2020, Hootsuite (We are Social) melaporkan bahwa 59% (160 juta jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia (272 juta jiwa) pada tahun 2020 adalah pengguna aktif media sosial dan 35.4% diantaranya berusia 25-34 tahun, atau generasi milenial.
Generasi milenial dikenal sebagai penyuka kebebasan, ekspresif, dan berbasis digital termasuk dalam urusan kecantikan. Maka dari itu, perempuan milenial sangat ekspresif dalam menunjukkan kecantikannya, terutama di media sosial. Apalagi ditambah adanya fitur menarik yang ditawarkan seperti adanya filter, emoticon, dan lainnya.
Lalu bagaimana jika ia adalah seorang perempuan difabel? Apakah ia tidak bisa eksis di media sosial?
1. Perempuan Difabel dan Media Sosial
Media sosial kerap kali menyuguhkan kecantikan perempuan secara visual, seperti berkulit putih, hidung mancung, tubuh ramping, dan berkaki jenjang. Namun nyatanya, media sosial juga dapat diakses dan dimanfaatkan oleh difabel.
Salah satunya Laninka Siamoyono, seorang difabel fisik yang aktif sebagai pengguna Youtube. The Wheelchair Girl, merupakan kanal Youtube milik Laninka yang membagikan cerita kegiatan sehari-harinya sebagai difabel, hingga tutorial ber-make up, dll. Kondisi fisiknya, tidak kemudian menghalanginya untuk menggunakan media sosial sebagai media untuk bereksistensi.
2. Perubahan Citra Perempuan di Media Sosial
Laninka berjuang melawan konstruksi kecantikan dan melawan stigma difabel. Setiap perempuan memiliki kecantikannya masing-masing. Seperti pada Laninka, ia tetap cantik dengan kursi rodanya. Postingan video pada kanal Youtube-nya, setidaknya memberikan gambaran bahwa perempuan difabel juga memiliki skill ber-make up dan berhak mempercantik diri dengan gayanya masing-masing.
“Be proud of who you are and love your self”
Demikianlah pesan Lanink
Benar saja, postingan Laninka mendapatkan respon positif dari para viewer. Melalui kolom komentarnya, baik perempuan difabel maupun non-difabel akhirnya tergugah untuk semakin menyanyangi diri sendiri.
3. Disability dan Beauty Vlogger
Saat usianya menginjak 13 tahun ia mengalami autoimune rheumatoid arthritis yaitu suatu kondisi dimana terjadi peradangan sendi akibat sistem kekebalan yang menyerang tubuhnya sendiri. Hingga pada suatu titik, ia nggak lagi bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda.
Laninka sempat mengalami merasa insecure dengan kondisi fisiknya. Ia merasa hidupnya telah berakhir dan semua impiannya hilang. Kondisi seperti ini bahkan bertahan hingga 10 tahun lamanya.
Titik balik itu terjadi ketika mencoba eyeliner yang iseng dibeli dari temannya, setelah dipakai dan berkaca, ia merasa bahwa ia masih bisa cantik, menarik, dan meraih impiannya. Perempuan 29 tahun ini mengaku bahwa make up is my therapy. Dengan make up, ia dapat menyadari bahwa dirinya sangat berharga.
Semakin lama, Laninka semakin ingin berbagi pengalaman hidupnya dan kesukaannya di dunia kecantikan. Kemudian ia aktif sebagai beauty vlogger. Ia tidak hanya berbagi tutorial make up, namun juga berbagi cerita agar tidak ada lagi perempuan yang insecure dengan kondisi dirinya dan membantu perempuan lainnya agar bangga terhadap dirinya sendiri.
4. Berdamai dan Mencintai Diri
Kehadiran Laninka di media sosial sedikit banyak menjadi dobrakan untuk melawan standar kecantikan yang selama ini diyakini oleh hampir setiap perempuan. Dengan bahasa yang sederhana, Laninka mampu memberikan pandangan berbeda mengenai definisi cantik.
“Cantik itu adalah ketika kita bisa dealing dengan segala kekurangan yang ada”– Laninka
Terlahir sebagai perempuan, berarti dia cantik seumur hidup dengan apapun kondisinya. Kedifabelitasannya yang dialami oleh Laninka bukan menjadi halangan baginya untuk menunjukkan bahwa dirinya cantik. Bukankah setiap perempuan itu cantik? Lalu mengapa harus distandardisasi?
5. Kecantikan adalah Relatif
Kecantikan itu relatif, bagaimana kita memandang dan nyaman dengan diri kita sendiri. Kenyamanan itu diperoleh dengan cara berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri memang nggak selalu mudah, namun bukan berarti nggak pernah bisa dilakukan. Hidup adalah pilihan, termasuk dalam hal berdamai dan mencintai kondisi diri sendiri. Apakah akan memilih terkungkung dan meratap, ataukah bangkit.
Dina Vebiola Saraswati Kuntardi, Penulis berdomisili di Bandung, dapat dihubungi melalui dinavebiola.saraswati@gmail.com.
*Tulisan ini merupakan bagian dari esai terpilih dalam lomba esai “Difabel, Milenial dan Media Digital” yang diselenggarakan oleh Difapedia dengan dukungan pendanaan dari Alumni Grant Scheme (AGS) Round 1 tahun 2020, serta didukung oleh Lokalate dan Owabong Water Park
Leave a Reply