Bagian pertama dari dua tulisan Yulius Regang*
Istilah “Difabel” masih terasa asing di telinga publik. Belum begitu familiar. Masih jauh panggang dari api. Dengan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian pesat dan kampanye tentang kesetaraan yang semakin meluas, masih terdapat diskriminasi dan stigmatisasi terhadap kelompok difabel. Dalam kehidupan bermasyarakat, kelompok difabel masih akrab disebut, “cacat”. Sesuatu yang sejatinya patut dipertanyakan, bukan? Bagaimana media digital menyikapi fenomena ini?
1. “Cacat” sebagai konsep yang keliru

Kata “cacat” belum pamit dari ingatan publik, seolah-olah nggak ada ungkapan yang lebih ramah yang disematkan kepada sesama saudara kita yang mengalami hambatan secara fisik atau difabel. Konsep yang keliru nggak cuma berhenti pada kata “cacat”, yang jika dieja menjadi kurang ramah. Selain itu, kecacatan memiliki makna yang dipandang sebagai aib atau kutukan.
Di beberapa daerah dengan budaya dan latar belakang tertentu, punya kebiasaan untuk memanggil atau menyapa orang-orang berkebutuhan khusus atau difabel secara berbeda. ia bermakna pada sebuah labeling. Mereka menyebut nama orang dan jenis keterbatasan fisik yang dialami seseorang, semisal A tuli, B Pincang, C Puntung dan seterusnya.
2. Budaya yang nggak mudah disingkirkan

Budaya semacam ini sepertinya sulit disingkirkan dari kehidupan masyarakat yang permisif. Memberi label negatif pada orang-orang berkebutuhan khusus atau difabel tanpa memperhatikan etika dan moral. Dan lebih jauh lagi adalah dampak yang ditimbulkannya.
Fenomena ini merupakan bentuk stigma dan diskriminasi yang menghambat terjadinya proses inklusi. Hambatan fisik yang dialami juga turut membentuk image atau pola pikir masyarakat umum bahwa orang-orang “cacat” dianggap nggak memiliki kemampuan seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang utuh secara fisik. Dengan demikian, mereka diidentikkan dengan manusia kelas dua. Nggak diberi ruang untuk berpartisipasi dan mengambil bagian dalam pembangunan di tengah masyarakat.
Pada galibnya, istilah “cacat” kurang tepat jika disematkan pada manusia. Kata cacat lebih cocok disematkan pada barang atau benda, karena kata “cacat” identik dengan rusak dan nggak dapat digunakan lagi selain dibuang. Konsep klasik yang merugikan martabat manusia sesungguhnya bertentangan dengan tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menghendaki adanya perlakuan yang pantas dan wajar kepada semua orang termasuk difabel.
3. Berkembang ke ranah media massa

Konsep yang keliru tentang difabel yang telah berkembang lama dalam kehidupan bermasyarakat turut mempengaruhi media massa dalam menyajikan berita. Media massa juga turut mempengaruhi opini publik melalui pemberitaan yang kurang bersahaja terhadap orang-orang dengan hambatan fisik dan psikis atau lebih mentereng disebut difabel. Konsep yang keliru tentang difabel nggak hanya terjadi dalam masyarakat umum. Ia turut terjadi dalam dunia pemerintahan dan media massa.
Untuk mengubah pola pikir dan cara pandang yang keliru tentang kelompok difabel diperlukan wadah yang mampu menggugah kesadaran publik. Kesadaran orang yang keliru harus diubah agar kekeliruan yang sama tidak berurat dan berakar serta diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu alat bantu yang bisa merubah cara pandang masyarakat yang keliru atau negative menjadi positif adalah media massa.
4. Media digital memainkan peran menggugah kesadaran publik

Media digital punya peran penting dalam memanusiakan manusia. Jika media digital tidak mengambil peran dalam memanusiakan manusia, maka dunia tidak akan mengalami perubahan. Media digital perlu hadir untuk menggugah dan mengubah kesadaran publik melalui pemberitaan-pemberitaan yang lebih santun dan bermartabat.
Di era digitalisasi, peran media digital menjadi sangat vital dalam rangka membangun kesadaran publik yang lebih berpihak kepada orang-orang yang diabaikan, dilecehkan dan kurang diperhatikan. Dalam konsep umum, orang-orang yang diabaikan, dilecehkan dan kurang diperhatikan termasuk kelompok difabel.
Kelompok difabel masuk kategori kelompok rentan yang perlu mendapat perhatian media digital, kelompok difabel perlu dihadirkan secara manusiawi dalam mengangkat harkat dan martabat manusia melalui pemberitaan-pemberitaan yang tidak menyinggung perasaan, menggangu moral dan psikis seseorang.
5. Menampilkan sesuatu yang beda di media digital

Media digital harus tampil beda. Isi pemberitaan harus lebih santun. Tampil menyejukan. Ia harus memberi rasa nyaman. Dalam membahasakannya pun media digital nggak sekadar menimbulkan nilai rasa dalam berbahasa. Ia sanggup membangkitkan kesadaran publik, mengedepankan semangat edukasi dari keterpurukan cara berpikir tentang difabel.
Media digital nggak cuma menjadi media bisnis yang hanya berjuang mengejar followers, akan tetapi menampilkan wajah humanis dalam pemberitaan. Nggak menciptakan stigma baru yang membuat orang nggak nyaman dengan isi pemberitaan.
Penampilan media digital yang mengharusutamakan difabel harus lebih ramah dan manyampaikkan informasi secara inklusi. Pentingnya media digital untuk menyampaikan informasi secara inklusi kepada audiens termasuk mereka para penyandang disabilitas. Ada macam-macam metode atau cara untuk menyajikan informasi dengan menggunakan tata bahasa yang baik, semisal tidak lagi menggunakan kata cacat.
Tugas media digital harus bisa mengubah kesadaran publik. Mengubah persepsi pembaca yang tadinya negatif menjadi positif. Publik tahu bahwa disabilitas adalah sebuah varian, seperti tidak bisa mendengar dan melihat (sensorik), Difabel fisik tangan-kaki, intelektual, autism, bipolar dan sebagainya. Mengacu pada realitas yang ada, tugas media digital adalah bagaimana menggunakan bahasa informasi itu bisa dimengerti oleh banyak orang sekaligus memanusiakan manusia yang diberitakannya.
Berangkat dari ulasan dalam tulisan ini bahwa masyarakat luas masih mengusung konsep yang keliru tentang difabel. Khusunya di Indonesia, masih minim jumlah media massa pengarusutamaan difabel. So, kehadiran media digital pengarusutamaan difabel menjadi sangat urgen dewasa ini. Seiring dengan itu, banyak informasi tentang dunia difabel yang belum diketahui publik secara luas. Akibatnya sejauh ini kelompok difabel masih dipandang sebagai kelompok yang dimarginalkan.
Yulius Regang, Penulis dapat dihubungi melalui bapikir_yulius@yahoo.com
*Tulisan ini merupakan bagian dari esai terpilih dalam lomba esai “Difabel, Milenial dan Media Digital” yang diselenggarakan oleh Difapedia dengan dukungan pendanaan dari Alumni Grant Scheme (AGS) Round 1 tahun 2020, serta didukung oleh Lokalate dan Owabong Water Park
Leave a Reply