Bagian kedua dari dua tulisan Yulius Regang*
Realitas yang terjadi saat ini, kelompok difabel di Indonesia masih minim informasi. Selain hal tersebut, banyak informasi yang nggak bisa serta merta diterima dengan cepat oleh kelompok difabel. Media informasi yang belum ramah, hingga belum akses, bagaimanakah sekiranya formula yang tepat dalam menyikapi wacana media digital?
1. Membutuhkan media yang menyediakan ruang bagi difabel

Kehadiran media yang bisa menyalurkan informasi dan dapat diterima oleh kelompok difabel menjadi salah satu solusi yang bisa dihadirkan. Adalah kegembiraan jika di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di era digitalisasi, terdapat media massa yang memberikan porsi perhatiannya khusus pada kelompok difabel. Terlebih pada media digital yang selama ini menguasai ruang sosial di masyarakat.
2. Transformasi digital dan menyongsong 2045

Saat ini Indonesia sedang memasuki era transformasi digital, yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan nasional menyongsong visi besar Indonesia Maju 2045. Peluang ini membuka ruang yang sangat luas untuk memastikan akses digital yang adil dan setara bagi semua kalangan, termasuk kelompok difabel secara khusus.
Menyongong visi besar Indonesia Maju 2045 dan untuk memastikan akses digital yang adil dan setara bagi semua orang termasuk kelompok difabel, maka kapasitas dan kapabilitas digital kelompok difabel perlu ditingkatkan. Salah satu ruang yang mungkin adalah membuka ruang bagi kelompok difabel untuk menjadi bagian dari media digital.
3. Ruang digital bagi wacana difabel

Media digital perlu membuka ruang bagi kelompok maupun wacana difabel untuk membentuk pesan mereka sendiri sebagai langkah afirmatif. Dengan membuka ruang bagi kelompok dan wacana difabel, ekspresi identitas dan wacana dapat tersampaikan dalam berbagai pesan yang disajikan dalam ruang-ruang digital.
Dengan demikian secara tidak langsung dari segi kuantitas maupun kualitas, media digital turut memperkuat identitas kelompok difabel di tengah masyarakat luas. Memberi perhatian khusus kepada kelompok difabel berarti media digital ikut mendukung terciptanya inovasi-inovasi baru dalam teknologi untuk menjawab kesenjangan sosial yang ada.
4. Inovasi berdasarkan kebutuhan publik

Harapannya melalui media digital publik dapat mengenal lebih dalam tentang difabel secara keseluruhan. Ia juga berpotensi merangsang dunia usaha untuk menemukan inovasi-inovasi baru yang sekiranya dapat menjawab kebutuhan difabel dalam skala besar. Di sisi lain, media digital harus mampu mengangkat citra kelompok difabel di tengah masyarakat.
5. Membuka dan memperkuat ruang inklusifitas dalam masyarakat

Media digital perlu membuka ruang aksesibilitas bagi kelompok difabel dalam mendorong proses inklusi. Kita ketahui bersama, bahwa nggak semua orang bisa berinteraksi langsung dengan kelompok difabel, untuk itu dibutuhkan media yang benar-benar berpihak. Perlu menjadi catatan pula bahwa pengetahuan dan pandangan mayoritas orang-orang non-difabel terhadap difabel diperoleh dari apa yang ditampilkan oleh media massa.
Pandangan ini sesungguhnya memperkuat kiprah media digital dalam mendongkrak citra kelompok disabilitas melalui penyajian berita berperspektif difabel, baik yang disajikan oleh kelompok difabel itu sendiri maupun para pemerhati yang concern ke isu difabel. Jika ruang difabel dalam media digital dibuka, maka kegoncangan cara berpikir yang keliru tentang difabel perlahan akan lenyap dari ruang-ruang sosial masyarakat kita.
Yulius Regang, Penulis dapat dihubungi melalui bapikir_yulius@yahoo.com
*Tulisan ini merupakan bagian dari esai terpilih dalam lomba esai “Difabel, Milenial dan Media Digital” yang diselenggarakan oleh Difapedia dengan dukungan pendanaan dari Alumni Grant Scheme (AGS) Round 1 tahun 2020, serta didukung oleh Lokalate dan Owabong Water Park.
Leave a Reply