Beberapa waktu lalu, terdapat berita kasus pelecehan seksual sesama anak di suatu tempat di Jakarta. Sebagaimana dilansir Tempo, Sabtu (2/12), kasus tesebut adalah dugaan suatu tindakan pencabulan terhadap bocah kelas dua jenjang Sekolah Dasar (SD). Adapun pelaku sebagaimana diwartakan pihak kepolosian dilakukan oleh seorang anak berusia 12 tahun dan merupakan penyandang disabilitas.
Cukup banyak rekan-rekan tim Difapedia yang menanyakan kasus tersebut. Dengan segala keterbatasan informasi terhadap kasus tersebut yang rasanya complicated, ada beberapa hal yang dapat kami sampaikan. Hal ini agar bisa menghasilkan jalan keluar yang seadil-adilnya bagi semua pihak.
1. Memastikan Kebenaran “Status” Difabel
Perlu dipastikan dan dibuktikan kembali bahwa si pelaku memang Difabel. Selain itu, harus dipertegas ragam difabelnya, misalnya difabel mental, rungu, intelektual, atau lainnya. Untuk melakukan identifikasi ini dapat melibatkan tenaga medis maupun psikolog. Instansi pemerintah terkait diharapkan dapat mendampingi pelaku dan korban sebagaimana mestinya, dimana kita yakin telah dilakukan upaya terbaik.
2. Apakah Kondisi Difabel sebagai Pemaaf?
Jika yang bersangkutan benar dengan statusnya sebagai difabel, harus dilihat apakah kondisi difabel pelaku menjadikan alasan pemaaf. Pertanyaan berikutnya, dikatakan bukan pertama kali pelaku melakukan tindakan tersebut. Dari sudut pandang sosiologi perilakunya termsuk sekunder.
3. Masa Lalu Pelaku sebagai Korban Pelecehan Seksual
Selain itu perlu ditelisik pula dugaan pelaku pernah menjadi korban pelecehan seksual. Seperti lazimnya beberapa kasus pelecehan seksual, masa lalu seringkali menjadi salah satu pemicunya. Hal yang tidak kalah penting adalah apakah keluarga menutupi ketika pelaku pernah sebagai korban. Hal ini dapat menjadi puncak gunung es akan tertutupnya keluarga difabel ketika bersinggungan dengan kondisi difabel.
4. Asas Praduga Tak Bersalah
Dalam hukum pidana, proses secara hukum pidana sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Selain itu, dikedepankan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Perlu diperhatikan pula bahwa tujuan penegakan hukum tidak hanya kepastian hukum atau semata-mata menjatuhkan pidana, tetapi perlu dipertimbangkan pula mengenai kemanfaatan dan keadilan;
5. Undang-undang Perlindungan Anak dan Restroative Justice
Berhubung masih anak-anak, terlepas kondisi disabilitas, UU Perlindungan Anak jelas mengatur ancaman pidana lebih rendah. Barangkali polisi bisa saja mengarahkan ke restroative justice, dalam hal ini biasanya tergantung keluarga korban mau atau tidak;
Terlepas dari pro-kontra dan kompleksitas kasus tersebut, kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bagaimana seorang disabilitas bersama keluarganya, maupun lingkungan sekitarnya.
M Karim Amrullah, S.H., M.H.
Koordinator Bidang Advokasi dan Konsultasi Difapedia
Leave a Reply