Difabel; dari Charity menuju Empowerment

Oleh: Harri Santoso dan Raudhah

Dalam buku Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas yang disusun oleh Lembaga Bathsul Massail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (2018) disebutkan bahwa hari ini masyarakat difabel di Indonesia menghadapi 5 masalah secara umum yaitu: Pertama, problem cara pandang mistis dan cara pandang naïf. Cara pandang naïf membawa masyarakat pada situasi bahwa difabel adalah takdir Tuhan sehingga mereka diminta untuk bersabar dan menerima takdir Tuhan. Dalam masyarakat, mereka meminta agar masyarakat menyantuni dan menolong mereka. Sementara itu, cara pandang naïf melihat bahwa difabel adalah akibat dari adanya infeksi penyakit, keturunan, kecelakaan dsb sehingga mereka melihat pentingnya memberi pendidikan, pelatihan, kursus dsb untuk bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik. Kedua, Sikap dan perlakuan terhadap difabel, Ketiga, keterbatasan layanan publik yang ramah difabel, Keempat, keterbatasan peluang kerja dan Kelima, hambatan pelaksanaan kewajiban beragama.

Dari hambatan-hambatan yang disampaikan di atas, nggak jarang bahkan seringkali muncul beberapa perlakuan terhadap difabel seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan pada sektor formal. Difabel netra sudah diberi kesan akan menjadi tukang urut, penyanyi jalanan, Difabel rungu menjadi penjahit, cleaning service, dsb. Kaum difabel masih berada pada posisi yang mendapatkan bantuan dan belas kasihan masyarakat. Memiliki anak difabel sama artinya memiliki anak yang tidak punya masa depan, tidak ada pilihan pendidikan selain pendidikan luar biasa. Meskipun sudah dicanangkan pendidikan inklusif bagi mereka dengan kategori tertentu namun seringkali mereka mendapatkan penolakan oleh karena ketidakmampuan dan ketidaksiapan sekolah.

Lain halnya di tempat ibadah. Meskipun dalam satu ajaran agama khususnya Islam, bahwa dalam sejarah kenabian, salah satu penyebab turunnya surah dalam Al-quran yaitu Abasa yaitu ketika Nabi Muhammad SAW mengabaikan keberadaan seorang sahabat yang Difabel Netra Abdullah Ibnu Maktum. Beliau pun mendapat teguran dari Allah SWT. Meskipun demikian, belum banyak kita temukan masjid yang telah menyediakan fasilitas yang ramah difabel secara sempurna.

Belajar dari Negeri Lain untuk memberdayakan penyandang disabilitas

 Sembilan tahun lalu sebelum penulis melanjutkan pendidikan strata dua (S-2) di negeri Jiran dan negeri Paman Sam. Sebelumnya, penulis tidak memiliki referensi bahwa seorang difabel dapat mengenyam pendidikan tinggi dengan dukungan fasilitas yang baik dan memadai. Pada awal tahun 2011 dan 2013, penulis melanjutkan pendidikan di salah satu universitas pendidikan milik pemerintah di Malaysia tepatnya di Kota Tanjung Malim, Perak Darul Rizwan dan di kampus swasta di Kota Oberlin, Provinsi Ohio, Amerika Serikat. Di kota Tanjung Malim ini, penulis berinteraksi dengan banyak difabel netra yang sedang melanjutkan pendidikan tinggi. Mereka dengan mudah mengeluarkan alat-alat belajar yang mereka miliki untuk mengikuti perkuliahan di ruang kelas. Mereka secara mandiri mampu hadir di ruang kelas dengan dukungan minimal dari rekan sekelasnya karena kampus telah menyediakan fasilitas, mulai dari block jalan, lift bicara hingga huruf braille yang dengan mudah mereka jumpai. Lain di Malaysia lain pula di Amerika. Di negeri Paman Sam ini, penulis sempat berinteraksi dengan seorang pengajar yang mengalami netra total. Beliau memiliki ruang kerja dengan ratusan buku koleksinya. Kesehariannya, dia memiliki anjing yang dapat mengantarnya pergi dan pulang menuju kantornya. Namun, jika sang anjing tidak dapat mengantarnya, pria tersebut juga dapat menuju kantornya mengikuti block jalan yang telah disiapkan kampus dan pemerintah setempat. Oleh karena itu, dia dapat beraktivitas secara mandiri dan maksimal serta mengurangi ketergantungan kepada masyarakat.

Jika kita membandingkan Indonesia dan Amerika, rasanya sangat nggak adil karena jika dilihat dari usia kemerdekaan, saat ini Amerika telah memasuki usia kemerdekaan yang ke-244 tahun. Namun membandingkan dengan Malaysia, penulis berpikir masih sebanding mengingat usia kemerdekaan Indonesia sedikit lebih tua dibandingkan Malaysia dan di tahun 80-an, Malaysia menjadi negara yang banyak belajar dari Indonesia melalui pengiriman tenaga pengajar baik di tingkat pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi yang dilakukan pada saat itu. Selain itu, kesamaan budaya dan adat istiadat menjadi hal yang sangat relevan jika kita harus menjadikan hal ini menjadi study banding dari dua bangsa terhadap pelayanan dan penanganan difabel. Dengan fakta di atas, Indonesia semestinya dapat belajar dari negara serumpun agar para difabel di negeri ini merasakan kehadiran negaranya dalam kehidupan mereka. 

Prinsip Penting Agar Penyandang Disabilitas dapat Berdaya

Sebagai negara yang telah sepakat menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pengakuan dan penghargaan terhadap difabel sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa adalah salah satu bentuk implementasi nilai-nilai ketuhanan itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa prinsip penting agar difabel dapat hidup secara mandiri. Pertama, Pemenuhan hak atas masyarakat penyandang disabilitas adalah sebuah keniscayaan agar mereka mampu mandiri dan berdikari. Difabel yang secara keseluruhan dipandang sebagai kaum yang harus diberikan bantuan, charity dan belas kasihan oleh banyak orang harus diubah menjadi kaum yang juga mampu dikaryakan. Mereka diberi ruang untuk mampu berkreasi, empowerment sehingga mereka tidak saja dipandang sebagai objek pembangunan namun juga dapat bertindak sebagai subjek pembangunan. Pemenuhan akan hak-hak mereka sebagai warga negara oleh negara bagi penulis seperti penghutang, penghutang yang baik dia akan memperhitungkan diawal ketika ia mendapatkan upah bulanannya. Berapa yang harus ia sisihkan untuk membayar hutangnya baru kemudian dia mengeluarkan untuk biaya kehidupan lainnya. Namun bagi penghutang yang tidak baik, ia mengeluarkan biaya untuk keperluan lain baru kemudian melihat apakah ada sisa untuk membayar hutangnya. Begitu pula negara, prioritaskan dahulu keperluan dan kepentingan difabel baru kemudian melihat dan memperhatikan warga negara lainnya.

Kedua, Adil dan Proporsional, kaum difabel adakalanya perlu mendapatkan dukungan dan arahan dari masyarakat sekitarnya untuk mampu bertahan hidup. Meskipun demikian, ada juga diantara mereka yang hanya membutuhkan fasilitas yang telah disesuaikan kepada mereka agar mereka dapat mengaktualisasikan diri secara maksimal. Oleh karenanya, agar dapat bertindak adil dan proporsional, pemerintah melalui Unit-unit layanan dimasyarakat harus mampu menilai dan mendapatkan kebutuhan apa yang mereka butuhkan agar mampu hidup secara mandiri.

Ketiga, Konsistensi. Pemerintah Indonesia dan seluruh pemerintah daerah telah banyak melahirkan Undang-Undang, Peraturan Menteri, peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.  selain Undang-Undang Nomor 16 tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah Indonesia telah memiliki Undang-Undang tahun 1994 yang tentunya telah memperhatikan hak-hak difabel meskipun tidak selengkap dan sesempurna undang-undang terbaru saat ini. Selain undang-undang di atas, ada beberapa peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah dsb yang telah memberikan perhatian khusus kepada difabel. Sangat disayangkan, penerapan dan pelaksanaan terhadap aturan tersebut masih setengah hati dan setengah-setengah dengan segala macam alasan seperti kekurangan dana, tidak ada staf yang berkompeten, belum ada petunjuk teknis.

Keempat, Komprehensif. Pemberdayaan kelompok difabel nggak hanya persoalan pendidikan atau kesehatan saja. Ia mencakup banyak aspek seperti budaya, sosial, agama, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, nggak bisa dilakukan oleh satu lembaga atau departemen saja, harus ada kerja yang dilakukan oleh lintas lembaga, pemerintah, swasta, masyarakat, organisasi masyarakat, nasional dan internasional. Dengan demikian, cita-cita untuk merubah kelompok difabel dari charity menuju empowerment menjadi kenyataan.

Harri Santoso dan Raudhah, Pengajar di salah satu Perguruan Tinggi di Aceh.

*Tulisan ini merupakan bagian dari esai terpilih dalam lomba esai “Difabel, Milenial dan Media Digital” yang diselenggarakan oleh Difapedia dengan dukungan pendanaan dari Alumni Grant Scheme (AGS) Round 1 tahun 2020, serta didukung oleh Lokalate dan Owabong Water Park

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *