In Memoriam Prof Iwan Dwiprahasto (2); Ia Yang Menanggalkan Charity-Based
Petama kali mengenal Prof. Iwan adalah saat saya dihubungkan Direktur Direktorat Kemahasiswaan untuk bertemu dan berkoordinasi dengan beliau. Akan tetapi, saya lupa persisnya kapan pertama kali bertemu dengannya. Pun, entah sudah berapa kali saya bertemu dan berdiskusi dengan salah satu sosok yang selalu murah senyum ini. Saat itu, sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, suatu waktu saya diminta Pak Rektor, Prof. Pratikno, untuk menemui beliau. Hal ini dikarenakan Pak Pratikno sedang berada di luar kota. Dalam pertemuan tersebut, ada kata-kata yang selalu saya ingat, yakni:
“Salut dengan perjuangan teman-teman. Untuk mengakses fasilitas yang ada di UGM saja membutuhkan perjuangan. Belum lagi ditambah beban akademik”
Ya, kami sebagai mahasiswa difabel di UGM masih terlalu berat untuk mengakses layanan dan fasilitas yang ada di UGM. Untuk itulah, beliau sanggup merasakan sendiri perjuangan mahasiswa difabel yang relatif penuh tantangan di UGM. Sebagai salah satu kampus terbesar di Indonesia. Ia yang menggarisbawahi, bagaimana memperlakukan difabel sebagai bagian dari tatanan masyarakat. Ia yang mencoba, dan terus mencoba, menempatkan difabel sebagai bagian integral masyarakat. Yang ia tanamkan yang dimulai dari lingkungan sekitarnya….
Ia yang Open Minded
Sangat mustahil UGM bisa berkembang dan menerima difabel dengan tangan terbuka seperti sekarang ini tanpa campur tangan beliau. Meskipun tidak mengesampingkan beberapa pihak, Misalnya Bapak Direktur Kemahasiswaan, hingga Rektor UGM. Prof Iwan pula yang dengan langkah cepat menyediakan forum Focus Grup Discussion yang mengundang Dekanat dari semua Fakultas dan Sekolah Vokasi yang ada di UGM saat kasus diskriminasi dalam SNMPTN tahun 2014. Tanpa campur tangan beliau, mustahil UGM dapat membuka peluang lebih luas dalam menerima difabel. Jaminan memberikan hak pendidikan yang setara bagi difabel.
Meninggalkan Perspektif Charity-Based
Salah satu hal yang seringkali dicatat dalam menyikapi difabel adalah charity-based. Yakni, menganggap difabel sebagai obyek yang layak untuk dikasihani. Alhasil, difabel pun seringkali ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia dianggap sebagai sosok yang nggak bisa mandiri. Oleh karena itu, seringkali dilabeli sebagai sumber masalah sosial. Seringkali saya bertanya dengan nada menggugat, apakah saya yang difabel rungu ini sebagai sumber masalah sosial?
Baca Juga: In Memoriam Prof Iwan Dwiprahasto (1); Kenapa Kita Harus Bersyukur?
Penilaian yang salah kaprah ini pun menciptakan sebuah paradoks. Betapa tingginya gap antara nalar manusia dengan logika yang dimainkannya. Nggak demikian dengan Prof. Iwan. Beliau dengan pemikiran-pemikirannya, menerima difabel sebagai bagian integral manusia. Difabel, layak dan sanggup menjadi apapun andaikan diberi kesempatan yang sama. Itulah kenapa dalam seri pertama, saudara M Karim Amrullah sempat menulis tentang status manusia yang sama. Setiap manusia diberikan ujian oleh Tuhan. Ujian antara satu orang dengan orang lain nggak bakalan sama, kan?
Melihat Kompetensi
Dengan pemikiran yang terbuka, Prof Iwan berusaha melihat manusia dari sisi kompetensi yang ada pada setiap manusia. Ia nggak melihat dari rahim mana kamu berasal. Nggak pula melihat dalam kondisi fisik seperti gimana. Karena nilai seorang manusia terletak pada kompetensi yang dimilikinya.
So, nggak terlalu sulit saat saya dan teman-teman menyatakan kami kurang setuju dengan sistem kuota. Beliau, juga birokrasi kampus yang lain, pun bisa memahami apa yang kami utarakan. Yakni, biarkan. Berikan sebebas-bebasnya difabel untuk berjuang mewujudkan mimpi menjadi mahasiswa UGM. Biarkan mereka menunjukan kompetensi yang dimilikinya. Membiarkan kompetensi difabel yang menciptakan kuota sendiri. Tugas kita adalah, menyediakan fasilitas dan layanan yang dibutuhkan sesuai dengan ragam disabilitasnya saat proses seleksi mahasiswa baru.
Menerima dengan Memfasilitasi
Seringkali saya menemukan embel-embel inklusi pada sebuah lembaga pendidikan. Meskipun demikian, nggak jarang saya menemukan ada sesuatu yang nggak beres. Dengan menerima difabel, bukan jaminan sebagai sebuah lembaga pendidikan yang inklusif. Ia harus memberikan fasilitas dan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Dan, hal tersebutlah yang diperjuangakan Prof Iwan. Ia mencoba memberikan fasilitas yang terbaik bagi mahasiswa difabel yang berhasil masuk ke UGM. Dengan bantuan dari UKM Peduli Difabel, di bawah komando Direktorat Kemahasiswaan, yang berkoordinasi dengan Fakultas dan Prodi, layanan dan fasilitas bagi difabel dikompromikan. Tentunya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kenyamanan mahasiswa difabel. Sekalipun belum dapat dikatakan 100% sempurna, ia sudah lebih dari cukup.
Intergrasi Difabel dalam Sistem Sosial
Pada akhirnya, berkat perjuangan beliau di atas, Prof Iwan berhasil menempatkan difabel sebagai bagian dari sistem sosial. Kesabaran dan ketelatenannya, sungguh, melebih ekspektasi yang saya bayangkan. Mahasiswa difabel yang ada di UGM pun pada umumnya memiliki kemampuan yang di atas rata-rata. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya sanggup memberikan prestasi tersendiri bagi UGM.
Meskipun demikian, PR besarnya sudah menanti. Sebagai bagian dari penghormatan kita yang ditinggalkan beliau. Pertama, dan utama, adalah meneruskan perjuangan beliau di UGM agar terus berkibar, bahkan semakin baik dalam hal fasilitas dan layanan bagi difabel. Kedua, memperluas jenjang berikutnya, yakni saat mereka sudah nggak mahasiswa lagi. Yakni, saat mereka lulus. Keduanya adalah represantasi penghormatan kita kepada beliau. Penghormatan yang agung.
Selamat jalan,
Prof..
Saya menjadi saksi bahwa Bapak adalah orang yang baik..
Namamu akan selalu saya kenang sebagai bagian tak terpisahkan dari tinta perjalanan hidup saya…