Melihat Aktifitas Mahasiswa Difabel dalam Wacana “New Normal”

Bagi Slamet Tohari, Dosen yang sekaligus pendiri Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Barawijaya, nggak pernah membayangkan salah satu mahasiswa di kampus tersebut, Adit, akan mengikuti ujian skripsi secara online. Mahasiswa Tuli (difabel rungu) Universitas Barawijaya ini hanya bisa mengandalkan Juru Bahasa Isyarat dalam berkomunikasi. Alhasil, ketika ujian skripsi mengharuskan secara online, ia harus mengubah rencana yang sebelumnya sudah disusun.

Lain lagi dengan Toviyani, mahasiswi Difabel Netra UIN Sunan Kalijaga. Pandemi Covid-19 membuat ia harus menyesuaikan dengan sistem pembelajarannya. Lalu, apa saja sih hal-hal yang “memaksa” mahasiswa difabel menyesuaikan diri dalam wacana new-normal?

Memandang dari Sisi Positif

Memandang dari Sisi Lain ( via www.coe.int )

Selalu berfikir positif, akan mengantarkan kita pada kejernihan berpikir. Dengan kejernihan pikiran, mengantarkan pada keterbukaan untuk melakukan tindakan. Itulah yang ada dalam pikiran Toviyani, mahasiswi difabel netra UIN Sunan Kalijaga.

Baginya, sisi positif lebih irit dikarenakan tugas lapangan dialihkan ke online. Nggak perlu mobilitas ke luar untuk nugas yang seringkali Difabel netra kesusahan dikarenakan masih banyak fasilitas yang nggak aksesibel..

Sebuah Tantangan yang Mesti Dihadapi Bersama

E-Learning; Tantangan New Normal ( via www.jawapos.com )

Hidup senantiasa penuh tantangan. Nggak peduli bagi difabel ataupun non-difabel. Itulah yang dialami Toviyani dan Adit.

Bagi Tofiyani, COVID-19 memaksa difabel netra harus belajar menguasai semua aplikasi agar tetap berkembang meski di rumah saja. Mereka juga harus memaksimalkan dikarenakan selama pembelajaran online menyebabkan pengerjaan tugas dan pemahaman materi kurang maksimal. Diskusi dengan teman juga terbatas.  Eksistensi mahasiswa difabel nggak terlihat dosen karena secara online. Yang paling susah mencari buku atau referensi yang aksesibel bagi Difabel Netra dikarenakan di Perpusnas hampir semua  buku yang tersedia nggak terbaca screen reader, aplikasi pembacaan teks untuk membantu difabel netra. Tantangan lainnya, nggak mudah menerima bantuan orang asing. Hal ini karena difabel netra sering dibantu dalam mobilitas.

Menyesuaikan Kebutuhan

Pembelajaran Online Menyesuaikan Ragam Difabel ( via www.kompas.com )

Biasanya tatap muka untuk editing tugas, tapi ini secara online dengan relawan. Difabel netra sebisa mungkin menerima bantuan dengan menghindari sentuhan fisik. Hal inilah yang dialami Toviyani.

Lain lagi bagi Rizal, Tuli (Difabel Rungu), selama menjalani perkuliahan online di Universitas Barawijaya, ia selalu membutuhkan penerjemah bahasa isyarat.

Tetap Jaga Kesehatan dan SOP COVID-19

Menerapkan SOP Covid-19 ( via www.kompas.com )

Bagi Toviyani, massa new normal dituntut untuk selalu memakai masker, hand sanitizer, rajin cuci tangan, hingga membawa tisu basah. New normal adalah kembali beraktivitas seperti biasanya. Tetapi dengan menggunakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan

Bagi difabel, new normal adalah sebuah tantangan tersendiri. Selain harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan ragam difabelnya, juga berhubungan dengan hal yang tidak kalah penting, yakni pendamping maupun orang yang sedia untuk menutup celah hambatan yang dimilikinya. Sebab, bagi difabel dengan adanya Covid-19 ia nggak bisa bebas berbicara dengan orang yang nggak dikenal. Padahal, difabel yang mandiri seringkali bepergian sendirian, sekalipun lingkungan belum sepenuhnya aksesibel terhadap difabel.

Inilah PR besar bagi kita, Guys. Difabel yang selama ini terpinggirkan, lingkungan yang belum inklusif, ia harus menghadapi takdirnya yang baru; that called New Normal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *