Momen Hari Bahasa Ibu; Bahasa Isyarat, Bahasa Indonesia dan PR Besarnya
Selama ini Bahasa Isyarat dianggap sebagai bahasa Ibu bagi penyandang difabel rungu. Sebagian menamakannya dengan istilah “Tuli”. Sebagian lagi menggunakan istilah “Tunarungu” dan “Disabilitas Rungu”. Terlepas dari “kesemrawutan” penggunaan istilah tersebut, semoga kita nggak berada di pihak yang memilih meributkan peristilahan tersebut yah, dears…
Ada hal yang lebih penting daripada sekadar meributkan peristilahan. Yakni, hal-hal yang substansif. Misalnya, hak-hak Difabel Rungu yang belum terakomodir. Baik dalam sektor, pendidikan, politik, ketenagakerjaan, hingga sektor komunikasi dan informasi. Salah satu PR besar tentunya adalah terkait bahasa Isyarat.
Nah, momen Hari Bahasa Ibu kali ini kita bisa membawa kita ke arah lebih baik. Hal ini untuk menunjang akses bagi difabel rungu. Saya sebagai Difabel Rungu dan selama ini kuliah S1 dan S2 di jurusan berbasis bahasa merasa ada beberapa hal yang patut menjadi catatan bersama. Semua hal tersebut untuk kemajuan Difabel Rungu.
1. Bahasa adalah Pintu Gerbang Menuju Intelektualitas Seseorang
Mengingat bahasa merupakan alat dan sarana utama untuk menuju gerbang informasi yang berujung pada pengetahuan seseorang. Seberapa besar penguasaan bahasa seseorang, ia akan memiliki dampak besar pada tingkat intelektualitasnya. Hal ini disebabkan suatu ilmu pengetahuan, disampaikan menggunakan medium bahasa. Ia adalah pra-syarat utama. Apabila penguasaan atas bahasa rendah, maka kemungkinan untuk penguasaan atas ilmu pengetahuan juga rendah.
2. Sebagian besar Difabel Rungu adalah Low Literacy Skill
Kita nggak bisa memungkiri jika sebagian besar Difabel Rungu memiliki kemampuan berbahasa yang relatif rendah dibandingkan dengan lainnya. Hal ini seringkali dikeluhkan oleh berbagai pihak, bahkan di kalangan pendidik itu sendiri. Utamanya pendidik di sekolah inklusi. Sedangkan bagi pendidik di SLB B yang selama ini sudah terbiasa menghadapi Difabel Rungu akan memakluminya.
Baca Juga : Inilah Daftar Kampus yang Menerima Mahasiswa Difabel di Indonesia
3. Seringkali Difabel Rungu Bahasanya Terbalik-balik
Hal yang jamak ditemui dalam diri Difabel Rungu adalah seringkali bahasanya terbalik-balik. Kita dapat menemukannya saat mereka menuliskan sebuah kalimat. Susunan katanya seringkali sulit dipahami karena kerancuan tata urutannya.
4. Perlunya pemahaman SPOK dan Imbuhan-Akhiran
Salah satu penyebab utama adanya kemampuan berbahasa yang rendah dikarenakan mereka belum bisa mencerna struktur penyusunan sebuah kalimat. Seperti kita ketahui, kalimat tersusun atas Subyek-Predikat-Obyek-Keterangan (SPOK). Pemahaman mereka terkait Predikat dan Obyek seringkali tertukar. Selain itu, mereka yang belum memahami kata imbuhan-akhiran seperti me-, di-, ter-, ke-, -kan, -i, dan lain-lain menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, perlu strategi intens untuk memahamkan kepada mereka.
5. Mengurai Solusi; Penyelerasan Struktur Bahasa Isyarat dengan Bahasa Indonesia?
Bertahun-tahun saya mencoba memikirkan tentang hal ini. Hingga sampai pada satu kesimpulan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab utamanya adalah ketidakpaduan antara struktur Bahasa Isyarat dengan Bahasa Indonesia. Misalnya sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia “Aku mau makan”. Maka, mereka dalam berbahasa Isyarat menggunakan struktur atau tata urutan bahasa yang berbeda, yakni “Saya-makan-mau”.
Tidak heran, jika hal ini menyebabkan kemampuan berbahasa mereka rendah dan seringkali terbalik-balik. Hal ini pun berimplikasi pada tingkat intelektualitasnya di bawah rata-rata. Dan tidak jarang seringkali terjadi kesalahpahaman antara difabel rungu yang menggunakkan bahasa Isyarat dengan yang lainnya. Oleh karena itu, salah satu solusi yang sangat mungkin untuk memutus mata rantai kesemrawutan ini adalah dilakukan upaya terstruktur dan sistematis untuk menyelaraskan antara bahasa Isyarat dengan bahasa Indonesia. Sebisa mungkin, struktur bahasa Isyarat di Indonesia mengekor pada Bahasa Indonesia yang benar dan baku.
Baca Juga: Menjadi Mahasiswa Difabel Berprestasi di UGM, Fahmi Husein: Make it Fun, or Make it Worse, Berbahagialah dengan Hidupmu!
6. Kendala Utama, Kekeuh yang Menghinggapi beberapa Pengguna Bahasa Isyarat?
Dari hasil penelusuran saya selama bertahun-tahun untuk mencoba meresapi masalah ini, akar mula terjadinya perbedaan struktur bahasa Isyarat di Indonesia dengan Bahasa Indonesia salah satu penyumbang besarnya karena bahasa Isyarat asal mulanya berasal dr bahasa asing, yakni Bahasa Inggris. Tidak heran, struktur susunan katanya berbeda dengan bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan kata kerja aktif maupun pasif dalam bahasa Isyarat tidak jauh bedanya. Kata-kata imbuhan pun seringkali tidak ada. Hal ini berimplikasi pada ketidakpaduan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Namun, tinimbang mengikuti struktur Bahasa Indonesia yang baku, beberapa pengguna Bahasa Isyarat masih tetap kekeuh dengan struktur yang selama ini ada. Bagi mereka, hal tersebut adalah bagian dari identitas mereka. Bagian dari budaya mereka. Sesuatu yang membedakan dengan kelompok lainnya. So, tidak mudah untuk meyakinkannya. Seperti kita ketahui bersama, mayoritas pengguna bahasa Isyarat di Indonesia adalah Bisindo dan SIBI. Secara umum, yang membedakan keduanya hanyalah tanda atau sign yang digunakan. Sedangkan struktur atau tatanan bahasanya secara umum nggak jauh berbeda, lho..
Finally, diperlukan usaha untuk mencari solusi bersama atas masalah ini. Diperlukan upaya win-win solution yang dapat mengakomodir semua pihak. Pengguna bahasa Isyarat yang selama ini memiliki Bahasa Isyarat sebagai bahasa Ibu harus dipertahankan. Inilah bagian dari identitas dan budaya mereka. Akan tetapi, mengikuti bahasa Indonesia yang baku juga sebagai sebuah kewajiban. Karena kita berada dalam kultur Indonesia. Indonesia pula adalah bagian dari identitas dan kebangsaan kita. Dengan bahasa Indonesia pula gerbang ilmu pengetahuan mengantarkan pada kekuatan intelektualismenya.
Salam Inklusif
Mukhanif Yasin Yusuf, S.S., M.A, Difabel Rungu, alumni Bahasa dan Sastra Indonesia UGM dan Magister Ilmu Sastra UGM. Founder difapedia.com.