Peluang dan Tantangan Mengoptimalkan Media Live Streaming untuk Gamers Difabel

           Media live streaming menjadi platform yang menarik minat bagi generasi milenial. Fitur ini memungkinkan penggunanya tidak hanya menonton, namun dapat memproduksi kontennya sendiri. Di Indonesia, peran media digital tidak dapat dilepaskan dari proses virtualisasi. Sebagai bentuk media baru yang interaktif, media live streaming menggabungkan siaran publik (broadcast) dan audio-visual secara langsung dan terbuka untuk publik. Hal ini memungkinkan antar penggunanya berinteraksi secara real time dengan orang lain tanpa batasan ruang dan waktu.

           Sejak tahun 2009, media streaming semakin menjadi tren media sosial yang lebih luas. Kini hadir dalam platform seperti Twitch.tv, YouTube Live, dan Facebook Live yang menawarkan berbagai macam konten mulai dari bermain video game, musik, melukis, makan, hingga memasak yang ditonton oleh jutaan orang di seluruh dunia (Wohn & Freeman, 2020).  Beberapa studi mengatakan bahwa platform media live streaming memiliki efek pemberdayaan pada individu/kelompok serta dapat menghubungkan dengan pengguna lain tanpa memandang sekat-sekat sosial seperti ras, suku, agama dan sebagainya (Scheibe & Zimmer, 2019). Fenomena sosial live streaming juga membentuk pengalaman baru dalam proses keterlibatan sosial, maupun rasa kebersamaan dalam jaringan virtual.

           Seorang gamers dapat memanfaatkan fasilitas live streaming yang mengintegrasikan antara siaran broadcast dan game online. Media streaming video game semakin tubuh seiring perkembangan teknologi dan akses internet di Indonesia tak terkecuali untuk kelompok difabel. Adapun, berdasarkan data berjalan tahun 2020 dari Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta atau sekitar 5% dari jumlah penduduk. Meskipun masih sedikit kelompok difabel yang dapat mengakses media digital, perlu untuk melakukan optimalisasi dalam memanfaatkan media tersebut.

          Pemanfataan media live streaming, dapat kita amati melalui halaman Facebook @dipabelproplayer atau POTgame-Difabel Proplayer. Akun tersebut dimiliki oleh Albert Munthe, seorang difabel dengan keterbatasan fisik akibat gangguan pada fungsi tubuh. Selain memiliki kemampuan teknis melakukan broadcast melalui akun nya, ia juga terampil dalam memainkan setiap karakter dalam game online Mobile Legend yang disiarkan secara terjadwal. Banyak pengguna Facebook yang tertarik dengan kemampuan Albert dalam memainkan karakter dalam video game. Ia juga mendapat dukungan dari para fans nya yang kini berjumlah 103,165 orang tersebut. Di halaman Facebook nya Albert menuliskan fanspage ini adalah tempatku dimana mencurahkan kemampuan gamingku”. Facebook menjadi ruang untuk berekspresi dan merepresentasikan diri di publik.

           Meskipun demikian, Facebook menjadi media yang belum sepenuhnya inklusif terhadap para gamers difabel. Hal itu dapat diamati melalui beberapa komentar “netizen” yang melakukan cyber-bullying terhadap Albert.  Namun, ia tidak terlalu menanggapi hal tersebut dan berfokus untuk memenangkan pertandingan. Para penggemarnya pun seringkali memberikan apresiasi sebagai bentuk dukungan online.  Dukungan tersebut menjadi penting sebagai sarana penghargaan atas capaian nya sebagai seorang content creator. Bahkan mewujudkan keinginannya menjadi seorang pemain game profesional (pro player)

           Apa yang membedakan media live streaming dengan media lain adalah hubungan antara pembuat konten dan penonton yang dapat ditanggapi secara langsung (synchronous), melalui kolom komentar. Dengan kata lain, Albert telah membuktikan dirinya tak hanya mampu menjalankan teknis persoalan media, namun juga memahami dan mengevaluasi konten media dengan baik, di tengah anggapan ‘netizen” yang meremehkan kemampuannya dalam bermain Mobile Legend.

           Dapat disimpulkan bahwa, media live streaming memiliki peluang untuk memaksimalkan potensi gamers difabel, dengan tidak membatasi daya kreatif nya.  Meski ada banyak hal yang perlu dibenahi terkait persoalan “netizen” yang melakukan bentuk marjinalisasi. Lebih jauh, usaha untuk mewujudkan media digital yang inklusif bagi kelompok difabel menjadi tanggung jawab bersama sebagai sebuah support system, keluarga, teman, aktivis maupun lingkungan sosial, bahkan kebijakan pemerintah. Upaya tersebut perlu dilakukan secara konsisten untuk menjamin hak-hak difabel sebagai warga negara yang aman dari praktik diskriminasi, penelantaran, dan eksploitasi, termasuk hak dalam bermedia.

Salam inklusif!

Dino Andreas, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Esai ini merupakan naskah terpilih dari Lomba Esai yang diadakan Difapedia bekerja sama dengan Alumni Grant Scheme.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *