Saat Kamu dengan Gampang Mendaftar CPNS, Difabel Harus Berjuang Ekstra Keras
Di tengah euforia masyarakat dengan usia produktif yang ingin mengikuti rekrutmen CPNS tahun ini, difabel harus menghadapi perjalanan yang berliku. Berbeda dengan non-difabel yang tidak mengalami kendala berarti. Kami ,sebagai difabel, harus berjuang ekstra keras. Apakah gerangan ini terjadi? Bukankah Indonesia sudah berjanji untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif?
1. Formasi Difabel belum Terbuka untuk Semua Ragam Difabel
Formasi difabel memang kembali dibuka dalam seleksi CPNS tahun ini, sama seperti tahun sebelumnya. Namun, formasi tersebut mensyaratkan pelamar difabel harus dapat melihat, mendengar, dan berbicara dengan baik. Selain itu, terdapat persyaratan bahwa pelamar difabel mampu bergerak dengan alat bantu berjalan selain kursi roda.
Adanya pembatasan tersebut tentu menghalangi banyak kaum difabel yang hendak melamar CPNS. Hal ini sejatinya bukan masalah admnistratif, melankan masalah perspektif. Stigma negatif yang dilekatkan kepada difabel.
2. Jangan Kamu Tiru Stigma yang Salah Kaprah terkait Difabel Yah, dears…
Stigma negatif semacam ini tentu bukanlah kali pertama. Masih ingatkah kita kasus seorang dokter gigi yang dianulir kelulusannya dalam tes CPNS “hanya” karena kondisinya sebagai tuna daksa?
Dokter gigi yang bernama lengkap Romi Syofpa Ismael, sebelumnya telah lama mengabdi di Puskesmas Talunan. Namanya kemudian menjadi terkenal, lantaran pada awalnya ia tidak diterima sebagai CPNS karena terhalang kondisi paraplegia (pelemahan pada tungkai kaki bawah) setelah melahirkan anak keduanya lewat operasi.
Padahal, kondisi yang dialami sejak Juni 2016 itu tidak menghalangi pengabdiannya sebagai seorang dokter gigi. Terlebih, hasil tes CPNS menunjukkan bahwa ia meraih peringkat pertama pada formasi umum, yang berarti kemampuannya tidak lagi perlu diragukan. Sudah saatnya tidak melihat seseorang dari kapasitas fisik, melainkan kompetensinya. Aku mohon, jangan kamu teruskan stigma negatif seperti ini yah, dears…
3. Pengalamanku Jadi Pembelajaran, Formasi Difabel Sebatas Formalitas?
Kalau boleh sedikit bercerita, penulis sebenarnya juga mengelami kasus yang “serupa tapi tak sama”. Ketika mengikuti CPNS BIN 2018, penulis sebagai seorang difabel fisik mencoba untuk mendaftarkan diri karena dibuka formasi difabel fisik. Namun, singkat cerita, penulis tidak lolos syarat fisik dan tes psikologi. Tidak lolos syarat fisik itulah yang menjadi tanda tanya bagi penulis.
Sebagai catatan, pada saat itu penulis hanyalah satu-satunya calon yang difabel di instansi tersebut. Akan tetapi, penulis tidak lolos syarat fisik. Bagi penulis, seharusnya syarat fisik dikecualikan sebagai konsekuensi dibukanya formasi difabel fisik. Atau, jika instansi-instansi tertentu seperti di bidang pertahanan dan keamanan memang mengharuskan seseorang memiliki fisik “sempurna”, maka tidak perlu dibuka formasi tersebut. Menjadi pertanyaan sekaligus refleksi, apakah formasi difabel ini sekadar formalitas?
4. Kebijakan Afirmasi yang Belum Mengakomodasi
Mengkaji permasalahan tersebut tentu tidak terlepas dari pembahasan mengenai wewenang dan tindakan administrasi pemerintahan atau pejabat publik. Dalam hukum administrasi negara, dikenal adanya kebijakan afirmatif (affirmative action). Intinya, pempus atau pemda bisa saja membuat kebijakan khusus untuk lebih mengakomodir kaum difabel agar dapat meraih hak mereka atas pekerjaan sama seperti orang “normal” lainnya.
Dalam hal CPNS, misalnya, Pemerintah Pusat maupun Daerah seharusnya memberikan kuota khusus bagi kaum difabel, termasuk konsekuensinya adalah memberikan layanan dan fasilitas bagi difabel, baik saat proses pendaftaran dan seleksi hingga diterima sebagai PNS. Artinya, dalam “pengistimewaan” tersebut, mereka juga harus bertanggung jawab dalam mengimplementasikan kebijakannya sendiri.
Dengan kata lain, kebijakan afirmatif dimaksud tidak akan mungkin berjalan dengan baik, jika Pemerintah Pusat dan Daerah masih kurang atau bahkan tidak memahami isu difabel. Kebijakan afirmatif membuka kuota khusus bagi difabel diharapkan tidak sekedar formalitas untuk memenuhi kewajiban memenuhi kuota difabel sebesar 2% bagi pegawai negeri dan 1% bagi swasta sesuai Pasal 53 UU No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas (baca: difabel).
5. Kekuatan Media-lah Yang Mampu Menjadi Salah Satu Penopang Perjuangan Difabel
Dokter Romi mungkin masih sedikit beruntung, mengingat kasusnya dapat ditangani dan dipastikan akan diangkat menjadi PNS. Boleh jadi, kasus itu mungkin bakal berhenti tanpa ada kejelasan, bila tidak viral di media massa. Menjadi penting teman-teman media untuk mengawal isu ini.
Melihat perjuangan yang keras, kita membutuhkan uluran tanganu untuk mendorong pemerintah menghadirkan rasa keadilan bagi setiap difabel untuk dapat mengembangkan kemampuan dan berkontribusi di manapun ia berada, dengan diiringi tertanamnya perspektif yang benar. Khususnya dalam hal ini, pemerintah harus memberikan kesempatan bagi difabel untuk mengikuti seleksi CPNS dengan persyaratan yang tidak lagi berbau diskriminasi negatif, sehingga tidak terjadi kasus pahit seperti yang dialami oleh dokter Romi maupun yang lainnya.
Salam Inklusif!
*M Karim Amrullah S.H., M.H, Difabel Daksa, High Quality Jomblo alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. Saat ini berprofesi sebagai Lawyer dan tim konsultasi bidang hukum difapedia.