Salah Kaprah Penanganan Difabel di Kalangan Stakeholder

Beberapa waktu lalu, tim dari Yayasan Difapedia melakukan survey sebagai upaya pemetaan kondisi difabel di Desa Jambudesa, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Sebagai salah satu kabupaten yang jauh dari Ibu Kota, sejauh ini sudah cukup baik dalam hal sensifitas terhadap difabel. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan Perda Disabilitas, dukungan terhadap altet difabel, maupun dukungan dan bantuan lain untuk difabel. Salah satunya adalah bantuan alat bantu bagi difabel. Meskipun pada kenyataanya, masih cukup banyak PR yang harus digarap, salah satunya terkait ketepatan bantuan alat bantu bagi difabel maupun jenis pendekatannya. Apa saja sih yang harus menjadi catatan

1. Bantuan yang kontraproduktif

Penerima bantuan kursi roda yang belum bisa maksimal memanfaatkannya ( via dok. difapedia)

Tim Difapedia menemukan seorang difabel daksa berusia tujuh tahun. Secara spesifik lebih pada kondisi celebral palcy. Kondisinya berupa kedua kaki yang nggak bisa digerakan. lebih tepatnya di persendian telapak kaki. Selain itu, tangan kanan juga agak susah digerakan digerakkan di bandingkan tangan kanan yang sejauh ini berfungsi seperti biasa. Dinas Sosial setempat memberi bantuan kursi roda yang nggak pernah dipakai. Bantuan kursi roda ukurannya terlalu besar, nggak cukup untuk seorang anak berusia tujuh tahun. Sesuatu yang kontraproduktif.

2. Problem paradigma

Paradigma mempengaruhi hasil penanganan terhadap difabel (via www.liputan6.com)

Kesalahan tersebut terletak pada kursi roda yang dihibahkan merupakan kursi roda medis. Dalam artian, diperuntukan untuk orang sakit. Itu pun hanya untuk orang dewasa. Faktanya, difabel merupakan kondisi yang berbeda. Jauh dari kesan sebagai sebuah “penyakit”. Paradigma inilah yang mengesankan bahwa pendekatan terhadap difabel masih di samaratakan dengan orang sakit. Paradigma yang masih kita temui di masyarakat, bahkan di sektor pemerintahan sekalipun.

3. Ubah paradigma menuju social based

Merubah paradigma (via www.benefits.gov)

Mau nggak mau, kesalahan paradigma tewrsebut melahirkan kebijakan yang kontraproduktif. Semakin meminggirkan difabel. Hal ini disebabkan memisahkan dan meminggirkan difabel dari ruang-ruang sosial di masyarakat. Untuk itulah, saat ini gerakan difabel sudah mengarah pada social based. Ia menempatkan difabel sebagai bagian dari ruang-ruang sosial yang ada. Sebagai bagian dari persamaan hak asasi sesama manusia. Nggak lagi dianggap dalam perspektif belas kasihan (charity based) maupun perspektif medis (medical based).

4. Identifikasi kondisi dan pemetaan kebutuhan

Identifikasi kondisi dan pemetaan kebutuhan sangat penting dengan terjun langsung (via dok. difapedia)

Sangat perlu dilakukan survey terlebih dahulu sebelum memutuskan membuat kebijakan. Hal ini penting dilakukan agar kebijakan yang muncul sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Kita nggak bisa menyamaratakan semua difabel secara general. Setiap difabel memiliki “keunikan” dan keragamannya masing-masing. Hal ini yang seringkali diabaikan. Terutama bagi mereka yang masih minim pengetahuan terkait difabel.

5. Melibatkan pihak-pihak yang lebih paham terkait difabel

Sinergi pemerintah dan pihak yang lebih paham difabel (via www.tempo.co)

Dengan minimnya pengetahuan terkait difabel, solusi praktis adalah dengan melibatakan pihak-pihak yang lebih paham terkait difabel. Entah itu difabel secara individu, komunitas atau organsiasi difabel, maupun organisasi yang concern terhadap isu difabel. Sebagai solusi praktis, hal ini bukanlah solusi jangka panjang dan sistemik. Untuk kedepan, diperlukan mainstreaming bagi pihak-pihak yang berkaitan.

Kita percaya, bahwa kepedulian terhadap difabel patut untuk dihargai. Meskipun demikian, upaya perbaikan-perbaikan harus terus dilakukan. Agar kelak penanganan difabel menjadi lebih maksimal. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan Indonesia Inklusi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *