Undang-Undang PDP Mengatur Perlindungan Data Pribadi Disabilitas: Sudah Sesuai?

Teman-teman barangkali sudah tau bahwa pada Oktober kemarin, DPR telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, atau dikenal sebagai UU PDP. Ada satu pasal yang menarik, yaitu Pasal 26 yang mengatur perlindungan data pribadi bagi kita-kita sebagai penyandang disabilitas.

Pertanyaannya kemudian: apakah sudah sesuai dengan kebutuhan kita, atau justru mendiskreditkan posisi kita? Berikut ini akan coba saya ulas secara singkat satu-per-satu.

Difabel: Objek Ketidakmampuan?


Pasal 26 UU PDP mencantumkan kalimat “sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, kalau saya menafsirkan artinya khusus pelaksanaan mengenai data pribadi disabilitas, termasuk pemrosesan data pribadi disabilitas, UU PDP dan aturan pelaksananya harus merujuk ke UU Disabilitas (sebagai UU yang secara lex spesialis / secara khusus mengatur mengenai disabilitas) dan peraturan pelaksana UU Disabilitas, atau dapat dikatakan UU PDP jo. UU Disabilitas. Nah ini yang bisa kita perjuangkan, bahwa UU DPD tidak boleh mengabaikan UU Disabilitas, karena itu adalah amanat UU PDP itu sendiri secara normatif. Selain itu, kita pastikan peraturan pelaksananya (PP, Permen, dsb) meng-cover kepentingan dan kebutuhan difabel mengenai pemrosesan data pribadi.

Hanya saja, perlu dikritisi bahwa UU PDP seolah hanya mengatur perlindungan data pribadi bagi disabilitas hanya pada pemrosesan atau input, seakan difabel hanya sebagai objek yang tidak memiliki kemampuan dalam kebutuhan pengambilan data yang didapat dapat dari difabel itu sendiri.

Menimbulkan Diskriminasi
Saya mencoba memahami kalimat Pasal 26 ayat (2) “dilakukan melalui komunikasi dengan cara tertentu” menjadi agak bias, sekalipun memang diikuti kalimat “sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” yang seharusnya merujuk ke UU Disabilitas. Saya takutnya dalam prakteknya orang orang akan menafasirkan “dilakukan melalui komunikasi dengan cara tertentu” dianggap komunikasi orang pada umumnya, karena sepertinya masih banyak orang belum tau bagaimana seharusnya berinteraksi dengan disabilitas secara benar.

Kalau kalimat ini menggunakan kata “interaksi” bukan “komunikasi” mungkin lebih tepat, menurut saya. Dalam bayangan penulis, sesepele kata “komunikasi” dalam ketentuan ini mungkin, maaf, berpotensi menimbulkan diskriminasi negatif bagi teman-teman autisme yang memiliki perbedaan kemampuan dalam berkomunikasi.

Standar Ganda
Hal komunikasi ini erat kaitannya dengan anggapan pernyataan persetujuan dari disabilitas ybs. Pasal 26 ayat (3) “wajib mendapat persetujuan dari penyandang disabilitas dan/atau wali…” perlu dicermati secara hati-hati dan keseluruhan.

Di satu sisi, ketentuan tersebut seharusnya bisa melindungi disabilitas, dalam bayangan saya, mohon maaf, disabilitas dalam kondisi tertentu tidak bisa serta merta dianggap setuju, pihak pemroses data harus memastikan ke wali atau pendampingnya. Namun, terdapat potensi bahwa ini disalahgunakan, dalam arti tidak benar benar sesuai kehendak dari penyandang disabilitas.

Ada beberapa catatan krusial, seperti peluang pengampuan yang masih cukup besar yang berarti disabilitas secara keseluruhan dianggap tidak mampu dan tidak dapat menentukan kehendaknya sendiri.

Secara khusus, ketentuan ini mungkin dapat berdampak negatif bagi teman-teman disabilitas intelektual dan mental baik yang di panti maupun tidak, misalnya. Perlu ditelaah lebih lanjut situasi apa yang memungkinkan proses data penyandang disabilitas bisa diwakilkan oleh wali, apakah ada penentuan usia, kategori disabiilitas, dan lainnya.

Belum lagi mengenai mekanisme untuk mengkonfirmasi persetujuan tersebut. Singkatnya dapat dipahami bahwa persetujuan penggunaan data pribadi dapat melalui mekanisme tertulis dan tidak tertulis, elektronik dan non-elektronik, tetapi bagaimana bagi disabilitas dalam kategori maupun kondisi tertentu?

Sekali lagi, hal ihwal cara prosedur, teknik, kualifikasi, dan kategori yang dapat dipastikan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana harus kita kawal. Jangan sampai Pasal 26 yang dimaksudkan melindungi disabilitas, justru menimbulkan persoalan standar ganda yang kemudian bisa saja tanpa persetujuan (consent) disabilitas data tersebut dapat di-share.

Kemungkinan Judical Review?
Ketentuan Pasal 26 ini memang terlalu umum, tetapi mungkin begitulah formellgesetz. Sebuah UU tidak memungkinkan mengatur terlalu spesifik. Dampaknya, ketentuan dari pasal maupun ayat dari suatu UU bisa menimbulkan multi tafsir, bisa dikira ini dan itu. Jadi, kalau teman teman menafsirkan ada potensi kerugian secara abstrak, bisa saja diajukan uji materi ke MK, toh judicial review or JR by Constitutional Court itu bisa kerugian nyata ataupun abstrak yang belum terjadi kok!

Cuman, perlu diingat ya gaes ya. Selain proses JR di MK yang pastinya tidak singkat, batu uji dari UUD NRI 1945 dan alasannya harus reasonable, sehingga para Hakim MK yakin memang perlu ada norma yang “didepak”. Permasalahan yang dibawa pun memang mendasar, apalagi kalau memang itu hak konstitusional kita. Bukan masalah hal teknis yang menjadi ranah peraturan perundang-undangan di bawah UU. Jangan sampai ntar Putusan MK nya malah semakin tidak melindungi disabilitas. Waduh?!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *